Sejatinya rasa itu dapat digambarkan dengan sederhana. Mencintai tidak pernah butuh alasan, namun butuh kekuatan agar tetap tinggal. Selama sekian tahun hidupku, aku tidak pernah pacaran. Alasan? Oh, bukan masalah aku yang berusaha menjadi muslim baik tanpa pacaran! Ini hanya soal selera. Aku mengagumi beberapa wanita, namun hatiku bukan milik mereka. Sekarang tempatku menitipkan hati bukan pada wanita itu. Tetapi...***
Mata itu masih menatapku, mengerjap beberapa kali. Mulutnya melongo sementara tangannya masih memegang fotonya sendiri. Lelaki itu masih membisu, sementara matanya kemudian beralih pada foto di tangannya lagi. Terus seperti itu. Aku tidak pernah tahu bagaimana Allah menetapkan rasa. Tidak pernah mengerti bagaimana Dia mengatur sebuah pertemuan, hingga akhirnya aku berjumpa dengan lelaki ini. Lelaki yang bahkan tidak pernah masuk dalam daftar orang yang akan kupilih untuk hatiku. Aku tidak pernah memberi tempat khusus di hatiku untuknya, namun tempat itu seolah ada dan tercipta begitu saja.
Untuk beberapa menit kami saling membisu. Aftan masih belum mengatakan apapun. Aku juga sama. Jantungku masih berdegup kencang. Hal yang paling kubenci adalah ketika harus bungkam saat ingin mengatakan banyak hal. Aku hanya takut kalau Aftan akan membenciku karena ini.
"Aftan..."
"I... Iya, Mas?" Aftan mendongak gugup. Tangannya menggaruk tengkuknya.
Jujur, aku bukan tipikal orang seperti Gian maupun Irjo yang selalu menerapkan prinsip "Sudah basah, ceburkan diri sekalian!". Aku tidak bisa seperti itu. Selama aku bisa mengeringkan badan, aku akan mengeringkannya. Tetapi kali ini aku sepakat dengan pemikiran mereka.
"Aftan..."
Aku tidak tahu kenapa dengan bodohnya aku memanggil nama itu. Hanya untuk mencari jeda beberapa detik saja aku harus menyebut nama Aftan. Aftan mengerjap ke arahku. Menunggu. Namun sedetik setelahnya wajahnya bersemu. Kepalanya menoleh, menunduk. Dia menggigit bibirnya sendiri. Oh, cukup Aftan!
Jangan lakukan itu padaku!
"Iya, Mas...?"
"Aku tidak pernah bermain-main dengan hatiku." Prolog yang bagus, Adnan! Kalimat apa yang akan kamu gunakan setelahnya? Apa kamu akan membacakan cuplikan sajak Khahlil Gibran? Atau kamu akan membacakan puisi yang kamu temukan dari DP orang lain? Atau membuat kata-kata mutiara?
Kalimat apa yang akan kamu gunakan saat ini? Sekiranya Aftan tidak akan membencimu atau menjauhimu meski dia menolak. Ah, jangan pikirkan tolakan dulu Adnan! Ingat bagaimana hatimu memujanya. Ingat bagaimana rasamu mengeja, meletakkan lelaki ini dalam puncak hatimu. Bahkan kamu sudah lupa diri tentang agamamu, atau bahkan gendermu. Kamu hanya ingin memeluknya, menghujaninya dengan ungkapan betapa kamu bersyukur Allahmu telah mempertemukanmu dengannya. Lalu, bagaimana caramu mengungkapkan rasa, Adnan?
"Aku mencintaimu. Seperti Adam terhadap Hawa. Seperti Romeo terhadap Juliet. Seperti Rama terhadap Shinta." Sayangnya hanya itu yang bisa kuucapkan saat ini. Aku hanya berharap dia mengerti.
Aftan mengerjap lagi.
"Mas, bagaimana bisa..."
"Pertama kalinya aku tidak pernah berharap kamu tahu. Hari itu kita dipertemukan melalui kalung omkaramu. Masih ingat?"
Aftan mengangguk.
"Lalu kita dipertemukan di Navers. Apa kamu melupakannya?"
Kali ini Aftan menggeleng kencang.
"Aku tidak pernah menduga akan menitipkan rasa ini padamu, Aftan. Awalnya semua terlihat biasa saja. Tingkahmu, senyummu, ucapanmu... aku tidak pernah menganggap semua itu berbeda dari lelaki lainnya. Hanya saja, Tuhanku sudah memberikan rasa. Aku bahkan tidak peduli dengan siapa kamu. Aku hanya tahu satu hal. Aku lelaki yang sedang jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Aftan Ahish."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
Fiksi UmumIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...