Ibu...
Ketika jemari ini menulis, percayalah hati ini juga merasa. Mataku bergerak, otakku berdecak. Hatiku menghangat, jiwaku semangat. Bahkan tidak kutemukan ekspresi serupa ketika aku menulis yang lainnya. Surat ini kutulis kala pagi, saat otak ini masih santai dan tidak sempat memikirkan hal lain.
Ibu...
Ingat, tidak kalimat yang kau ucapkan padaku ketika aku masih kecil?
"Kak, jangan nakal!"
Kalimat itu tidak lagi kau ucapkan padaku, Ibu. Meski aku masih menginginkannya. Menginginkan diriku jadi gadis kecilmu yang nakal. Masih ingat nakalku dulu?
Tidak mau mandi, memanjat pohon, ogah ganti baju, pulang maghrib, mencuri mangga tetangga, dan kelakuan nakal lainnya.
Ingat, tidak bagaimana Ibu memukulku dulu ketika aku nakal? Mencubit pahaku, memukul betisku, namun selalu menolak memukul bagian kepala. Jujur, aku benar-benar kagum dengan pemikiranmu, Ibu. Kau memukulku, namun tidak pernah sekalipun melayangkan tangan di bagian kepala. Aku ingat kalimat yang kau ucapkan padaku.
"Kepala itu bagian yang paling penting. Tidak, tidak! Bahkan Ibu benci sekali melihat orang tua yang memukul kepala anaknya. Anaknya bisa jadi bodoh nanti!"
Aku tahu Ibu tidak pernah belajar soal anatomi dan syaraf dalam diri manusia. Ibu tidak belajar Biologi ataupun ilmu kesehatan lainnya. Meski begitu Ibu tahu banyak hal.
Ibuku seorang ustazah. Beliau lulusan pondok pesantren. Sholat lima waktu tak pernah lupa. Sholat sunnah juga rajin. Baca al-quran sudah jadi rutinitas. Ibuku paham tajwid. Dimana ketika nun mati bertemu ba' maka membal bacanya. Atau ketika alif lam bertemu ya' maka disebut Idhar Qomariyah.
Ingat, tidak saat Ibu menangis ketika anak nakalmu ini jadi juara khitobah? Bagaimana Ibu berdiri, bertepuk tangan dengan wajah basah oleh air mata.
Aku ingat, Ibu!
Waktu itu aku menggeleng, menolak untuk maju ketika MC memanggil namaku. Aku menangis, aku malu. Tampil di depan orang banyak sama sekali bukan gayaku. Lalu, Ibu mengatakan kalimat sakral yang paling menawan.
"Kak, kenapa berbuat baik saja Kakak malu? Kemarin ketika Kakak nakal kok tidak malu?"
Adikku masih dalam gendongan waktu itu. Dengan raut malu-malu, aku maju. Kutatap wajah ibuku yang terlihat berseri di bangku penonton. Ibuku mengangguk cepat, dengan bibir penuh senyuman. Bahkan beliau jadi Ibu paling "norak" saat itu. Bertepuk tangan paling kencang di sana. Meneriakkan namaku dengan suara paling kencang hingga juri dan yang lain tersenyum geli.
Aku malu ketika melihat Ibuku seperti itu.
Namun, bangga.
Satu salamku mulai menggema.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..."
Ibuku menjawab salamku bersama penonton beserta juri lainnya. Bibir ibuku berkomat-kamit. Bukan membaca mantra, bukan. Aku tahu ibuku sedang berdoa untukku.
"Bahkan Rasulullah begitu merendahkan diri di hadapan Allah. Lalu kenapa kita begitu sombong terhadapNya?"
Sayangnya itu saja yang masih kuingat jelas kalimatnya, meski inti khitobah itu tak akan pernah kulupakan.
Ibu...
Mungkin anak nakalmu ini bukan lagi anak nakal berbakat seperti dulu.
Aku sudah bertransformasi jadi anak paling menyebalkan yang pernah kautahu. Aku pernah membuatmu menangis, bukan karena prestasiku. Aku pernah melarikan diri dari rumah karena Ibu terlalu memanjakan dan mengikatku dengan aturan.