1. You

16 2 5
                                    

Pandangan perempuan itu tidak lepas dari pintu kafe, ponselnya, dan dua minuman hangat yang sudah tersedia di hadapannya. Lagi-lagi ia menghela nafasnya kecewa kala pintu yang terbuka tidak menampakkan orang yang ditunggunya, dan ponselnya juga sedaritadi tidak bergetar. Hujan yang tadinya sedikit sekarang menderas, membuat ia menyeruput lagi coklat panasnya yang sekarang sudah hampir habis—karena ia minum selama menunggu—setidaknya ia jadi merasa hangat.

Perempuan dengan rambutnya yang dikepang itu mendengus saat sadar sekarang minumnya sudah habis. Sebenarnya, ini termasuk rekor karena dalam waktu satu jam perempuan itu baru selesai menghabiskannya—yah, biasanya beberapa menit juga sudah habis.

Matanya kini fokus pada minuman hangat lainnya yang masih utuh di meja. Perempuan itu tersenyum kecut, sepertinya gue terlalu bersemangat buat ketemu dia, pikirnya, dia bahkan ogah-ogahan gini ketemu sama gue. Kesal, perempuan itu langsung mengambil minuman yang sudah dipesan untuk dia yang tak kunjung datang, dan meminumnya. Bahkan, perempuan itu tidak merasakan apapun pada minuman yang sedang diminuminya, rasanya hambar dan rasanya—kecewa. Eh, apasih? Mana ada minuman rasa kecewa, batinnya.

Seketika ia baru tersadar, minuman ini sudah tidak sehangat tadi, malah sekarang jadi dingin. Apa mungkin dia juga seperti itu—yang tadinya hangat, lalu menjadi dingin? Perempuan tadi menggelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh pikiran negatif tentang pacarnya itu. Ya, 'kan minuman mana yang tadinya anget, terus dibiarin satu jam tetep anget? Kalo dimasukkin termos mah iya, batinnya. Pikirannya mulai berpikiran lagi kalau pacarnya itu mungkin saja ... menjadi dingin karena ditinggal beberapa bulan lamanya. Lah, 'kan dia yang ninggalin gue, bukan gue yang ninggalin dia! belanya dalam hati. Malas, perempuan itu memutuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang minuman hangat-dingin ini.

Saat perempuan tadi tengah membungkukan badannya untuk mengambil ancang-ancang menyentil semut menyebalkan yang ada di mejanya ini, seseorang dengan nafas tidak beratur duduk di hadapannya dan menyapanya. "Hai, Linzy."

Linzy diam dan tidak jadi menyentil semut tadi.

Matanya membelalak dan badannya tiba-tiba kaku. Seseorang di hadapannya tertawa melihat Linzy yang tiba-tiba menjadi patung saat tangannya sedang membentuk huruf O—yang tadinya ingin menyentil semut. Linzy tidak memperdulikan tawaan itu, karena sekarang ia terlalu sibuk mengagumi tawaan yang sudah lama ia rindukan, juga sapaan yang ia rindukan.

Perlahan, Linzy mendongak dan mendapati Denny tengah tersenyum padanya. Astaga, rasanya Linzy ingin mati saja. Tapi tidak, masa sudah berbulan-bulan menunggu kepulangan Denny, saat bertemu Linzy malah mati? Tanpa Linzy sadari, bibirnya juga membentuk seulas senyuman pada Denny.

"Jadi ...," Denny mulai bicara, "Kamu kesini sama siapa? Kok minumannya ada dua?"

Linzy reflek melihat ke tangannya yang tengah memegang minuman yang tadinya untuk Denny, dan minuman miliknya yang sudah ia habisi. Linzy hanya menunjukkan cengiran pada pacarnya.

Denny terkekeh, "Aku tebak, pasti salah satu diantara minuman ini ada yang buat aku,"

"Nggak usah kepedean," balas Linzy, "Satu lagi tadi punya Kak Bimbom, aku beliin karena dia lagi baik mau nganteri aku."

Denny mengerutkan keningnya. "Terus, Kak Bimbom lagi kehausan? Minum sampe habis gitu,"

"I–iya, nggak tau tuh emang."

"Kamu udah lama ya disini?" tanya Denny tiba-tiba. "Kamu ... nyampe sini jam berapa?"

Linzy terdiam. Masa iya harus menjawab ia sudah disini sejak satu jam yang lalu? "Aku kesini jam ...," Linzy menggantungkan jawabannya, karena ia sendiri masih bingung. "Sesuai kesepakatan kita."

"Maaf," Denny menatap Linzy lekat-lekat. "Tadi aku–"

"Nggak apa-apa kok," potong Linzy.

"Aku hafal kamu tau," Denny membenarkan posisinya. "Aku tuh tadi–"

"Iya, Den, aku ngerti. Aku juga hafal kamu tau."

Denny menghela nafasnya pasrah. Percuma melawan Linzy jika permasalahannya seperti ini. Mata Denny kini tertuju pada rambut Linzy yang dikepang, bibir Denny reflek terangkat. "Kamu beneran dikepang,"

"Iya dong," Linzy tersenyum, kepalanya bergeser untuk melihat sepatu yang dipakai Denny. "Ih, udah dibilang pake sepatu yang toys story."

"Sayang tau kalo pake yang itu, aku 'kan orangnya gampang kotor. Kalo sepatunya kotor gimana?"

"Dicuci lah, kocak."

Denny terkekeh. "Jadi kangen deh waktu sepatu aku kotor, terus dibersihin deh. Tapi dibersihin pake tisu basah doang, nggak bersih. Cuma kinclong,"

"Masih mending udah aku bersihin. Males ah, kangennya baru sekarang."

"Yee, emang siapa yang ngomongin kamu?" Denny tertawa. "Orang aku kangen sama Mbak Ijeh!"

( )

a-n
haaiii! selamat datang di short story kedua gue heheh. ini bakal lebih pendek daripada Morning Routine loh xixi, yang belom baca, baca ya! Nggak ada hubungannya sih. Tapi, ya, baca aja biar gue seneng gitu. Maap ya kl nggak jelas, mungkin nanti bakal gue edit hoho.

26 Februari 2017

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: May 09, 2017 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

She's Right, So He Left | on holdHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin