Allah tidak akan pernah melepaskan hambaNya dalam sebuah kebingungan. Seberapa besar Dia meletakkan masalah, sebesar itu pula dia menunjukkan jalan keluar. Allah adalah sebaik-baik dzat yang Maha Tahu lagi Bijaksana. Selama sekian tahun hidupku, akhirnya aku merasakan juga makna memiliki pada akhirnya. Aku memiliki lelaki ini sebagai sebuah kehidupan baru untukku. Memilihnya dengan penuh syukur dan cinta...***
Aku dan Aftan memiliki agama yang berbeda. Kami hanya berbeda dalam menyebut Tuhan. Selebihnya, kami percaya kalau ada Tuhan yang Maha Agung di sana. Yang menciptakan kami, yang memberi kami berkah dan juga karunia. Kami hanya punya cara sendiri dalam memanggil Tuhan. Aku mencintai Aftan, Aftan juga demikian. Aku lelaki, Aftan juga sama. Tak masalah kalau kami memiliki perbedaan, hanya saja rasa dalam hati kami sama. Itu sudah cukup. Itu sudah cukup untuk jadi alasan kenapa kami harus bertahan bersama.
Aftan mengerjap menatapku. Jemarinya masih menelusuri daguku, bermain-main di sana. Aftan tersenyum sesekali dan berbisik pelan.
"Mas..." Jemarinya menyentuh daguku. Kami berbaring di atas kasurku, saling memandang dengan mata bertatapan sayang. Aftan tersenyum dengan wajah senang. Aku senang ketika dia memanggilku, atau ketika tangannya menyentuhku.
"Kenapa sejak tadi kamu selalu menyentuh dagu Mas, Aftan?" bisikku geli. Aftan mengerjap, lalu terkekeh.
"Aku suka menyentuh wajah Mas Adnan."
"Kenapa? Hm?" Bibirku mengecup pipinya gemas. Aftan tergelak lagi, lalu merengkuh tengkukku sayang. Aku senang seperti ini. Aku bahagia seperti ini. Lebih dari itu, aku bersyukur.
"Karena ini wajah lelaki yang kucintai..."
Aku tersenyum. Bahagia membuncah begitu saja. Lenganku kembali merengkuh tubuhnya. Aftan kembali mengusap daguku. Daguku tidak lembut. Kasar malah, karena rambut-rambutku yang tumbuh lebih cepat.
"Kasar, ya?" tanyaku cepat.
"Iya, kasar. Tetapi tidak apa-apa, hati Mas lembut sekali meski begitu." Aftan mendekat, lalu mengecup daguku. Allah, apakah ini nikmat yang telah Kau berikan? Aku mengusap sayang kepala Aftan, merengkuh kepala itu dalam pelukku.
"Aftan mau bantu mencukur?" Aku merengut manja. Aftan mengangguk cepat.
"Aku juga ingin seperti Mas Adnan. Kumisku hanya tumbuh sebulan sekali."
Sialnya, aku terbahak kencang mendengar pengakuan Aftan. Kami berdua berbeda dan sama dalam satu waktu. Jariku mengelus ujung bibir Aftan. Bibir ini yang dulu pernah mengusikku, namun kini ini milikku. Mata yang mengerjap ini juga milikku. Lalu hidung ini juga untukku.
"Mas sedang apa?" Aftan terkikik karena tanganku bergerak menyentuh hampir seluruh wajahnya. Aftan menggeleng kencang, menghindari jamahan tanganku.
"Mas sedang menyentuh wajah milik Mas Adnan."
"Ini wajah milik Aftan Ahish."
"Ini wajah milik Adnan juga mulai sekarang. Kamu pemiliknya, aku yang menyewanya. Penikmatnya."
"Kenapa wajahku jadi milik Mas Adnan?"
"Jadi, milik siapa wajah ini?"
"Milik Aftan Ahish seorang."
"Milik Adnan juga mulai sekarang dan seterusnya," bisikku pelan. Aftan tergelak geli, lalu menyentuh wajahku. Aftan masih saja tergelak ketika aku berkata banyak hal padanya. Aku mengenal Aftan sebagai seorang anak lelaki yang dilahirkan di Bali. Jauh di pedesaan di daerah Tabanan. Namanya desa Jatiluwih.
"Aftan..."
"Hm?"
"Mas ingin mendengar banyak hal tentangmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
Ficción GeneralIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...