Chapter 3

2.1K 316 14
                                    

Chapter 3

Malam itu darah begitu banyak di kamarku. Kaneki-san, orang yang kutolong semalam, mengeluarkan begitu banyak darah dari perutnya. Padahal lukanya tidak begitu besar, namun darah yang keluar begitu banyak. Semalaman penuh aku menjaganya, aku memerban perutnya, lalu kubasuh tubuhnya yang berlumuran darah dengan air hangat. Rambutnya yang putih pun kubersihkan karena sempat terendam darah. Ia terus menolak ketika aku hendak melepaskan penutup matanya, maka kubiarkan saja benda itu menutupi matanya, Aku heran sekali, seharusnya Kaneki-san sudah kekurangan darah, tetapi ia terlihat baik-baik saja sampai pagi hari.

"Umm...."

"Selamat pagi, Kaneki-san." Sapaku. Aku meuangkan secangkir teh untuknya.

"Pagi..."

"Semalam kau benar-benar terluka parah." Kataku. "Pakaianmu sudah kucuci dan kukeringkan, ada di jemuran sana. Lalu apa kau sudah merasa lebih baik? Kalau belum kita benar-benar harus ke rumah sakit loh."

Kaneki-san menggeleng pelan. Akh, dia keras kepala sekali.

"Baiklah kalau begitu." sahutku menyerah. "Kau pasti lapar karena kehilangan banyak darah semalam. Mau minum teh?" kusodorkan secangkir teh di dekatnya. Kaneki-san hanya menatapnya tanpa menunjukkan minat. "Mau minuman yang lain? Jus? Susu? Kopi?" ia mengangguk. "Kopi?" ia mengangguk lagi.

Dia benar-benar laki-laki pendiam. Tak banyak bicara ya. Aku langsung bangun dari dudukku menuju dapur. Kurasa aku mempunyai mesin pembuat kopi di rumah, dulu ayah sering menggunakannya. Ayahku tidak pernah membeli kopi kemasan, katanya itu rasa palsu. Tapi, aku penyuka kopi kemasan. Haha.

Kopi itu jadi dalam waktu sepuluh menit. Di piring kopi aku sertakan biscuit choco chip, jaga-jaga saja bila rasanya tidak enak. Ketika aku ke kamarku, Kaneki-san sudah duduk sambil diam.

"Kau sudah bisa duduk? Hati-hati dengan perbannya ya. Nanti bisa kebuka lagi." Aku menyerahkan kopi itu padanya. "Ini pertama kalinya aku buat kopi tanpa bubuk kemasan, maaf kalau tidak enak."

Kaneki-san hanya tersenyum kecil lalu meminumnya.

Gluk...

"Tidak buruk kok."

"Benarkah?" aku kaget bukan main. "Terima kasih meskipun itu pujian kasihan." Candaku. "Kaneki-san, apa kau mau makan? Aku sudah masak."

Ia menggeleng lagi. "Tidak." Kopi tersebut diminumnya lalu ia kembali berbicara. "Aku harus segera pergi."

"Secepat ini? Kau yakin lukamu sudah sembuh?"

"Sudah." Jawabnya.

Mataku mulai menelusuri ke arah perban di perutnya. Perutnya tidak mengeluarkan darah lagi, darahnya benar-benar sudah berhenti. Padahal luka semalam cukup dalam. Aku merasa sedikit heran dengan Kaneki-san, bagaimana mungkin ia bisa sembuh dengan sangat cepat? Maksudku ini hanya satu malam, dan lukanya sudah tertutup.

"Aku ambilkan bajumu ya." kataku sambil keluar. Aku merasa tidak enak dengannya, aku merasa aneh dan takut. Tatapan matanya selalu dingin, tapi suaranya lembut. Aku tidak bisa bilang dia orang jahat juga. Ah, lupakan saja.

"Kaneki-san, bajumu."

"Ah, terima kasih."

Sambil menunggunya mengganti baju, aku merapikan ruang depan. Yang sebenarnya selalu bersih dan rapi, tetapi daripada aku tak melakukan apapun, aku menjadi sangat mementingkan detail. Seperti pot bonsai yang miring atau letak buku yang salah. Aku selalu tahu. Mengingat aku hanya sendirian di rumah ini.

"Aku sudah selesai." Ucapnya di belakangku.

"Hah? Ah, ya." Kaneki-san terlihat lebih baik. Bajunya yang total hitam sangat pas di tubuhnya yang tinggi dan kurus, bajunya telah membuatnya terlihat seperti laki-laki dingin yang tak suka ikut campur. Mungkin itu memang benar. Aku mengajaknya berbincang sedikit sampai kami di depan pintu rumahku. "Semoga kau tidak terluka lagi seperti kemarin, Kaneki-san."

White Apple (Kaneki x Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang