Langit sedang mengirimkan hujannya, tepat di tanggal 1 Juli 2016. Tanggal ini, agak sensitif bagiku. Tapi setidaknya suasana hatiku sudah cukup tenang, beberapa jam yang lalu Ray mengunjungi kediaman ku. Kami duduk di teras, menghadap pemandangan rumah kuno di depan rumah orangtua ku. Tak ku sangka musuhku yang satu itu kini sudah menjadi pria mapan. Tujuannya ke tempat ku adalah ingin memamerkan semua kesuksesannya, hha. Setidaknya itu yang dari awal ku dengar dari semua pembicaraan kami hingga akhirnya dia menanyakan hal yang sama sensitifnya dengan tanggal hari ini.
"Hari ini ulang tahunnya, hadiah apa yang kau beri tahun ini?", tanyanya tanpa beban. Padahal aku sadar betul bahwa dia yang dulu mengetahui persis apa yang terjadi antara aku dengan 'dia'. Menyebutkan namanya saja aku terasa enggan. Entahlah, aku bukan tipe pendendam. Tapi aku tidak tahu apa yang membuatku begitu moh berhubungan lagi dengannya. Mungkin, karena aku tau bahwa aku akan terlalu mudah jatuh lagi padanya walaupun hanya berupa sapaan layaknya teman biasa. Aku tidak tahu apa yang merasuki otakku, hingga ia terlihat begitu sempurna dan membuatku sempat merasa 'gila'.
Aku sempat terdiam saat Ray menanyakan hal itu. Aku juga akhirnya sadar, dari awal pagi hari ini aku memang merasa kurang bersemangat melihat kalender, ah ternyata karena itu. Setidaknya aku bisa melupakan hari lahirnya selama.. 1.. 2.. 2 tahun. Ya, dan si bodoh itu mengingatkan ku kembali. Memang dia pantas jadi musuh ku untuk selamanya dalam hidupku, hahaha..
"Yasudah jika tidak mau menjawab, hahaha..." sahutnya santai. "Biru.. Putih.." ia berbisik sendiri sambil tersenyum geli lalu menyenderkan badannya ke kursi. "Maksudmu?", tanyaku penasaran. Ia tersenyum dan malah menanyakan "Ngomong-ngomong, apa warna hari mu hari ini?". Memang si aneh itu selalu tidak jelas apa yang sebenarnya ingin dia bicarakan. "Kelabu seperti biasanya kah?, lanjutnya lagi sambil melayangkan tangannya menyentuh bagian depan jilbab scarf ku. Aku hanya menghindarinya, tertawa, lalu balas mengejeknya.
'Ting nong!', suara bel rumah ku berbunyi. "Siapa malam-malam begini? Apa Ray ketinggalan sesuatu?" batin ku penasaran. Ray bahkan sudah pulang dari sejam yang lalu. Dengan segera ku buka pintu yang hanya dikunci slot dan 'deng!', tidak ada siapapun. Aku melihat sekitaran halaman depan rumahku, siapa yang bermain-main hujan-hujan begini? Ray? Tapi, mobilnya sudah tidak ada di tempat ia parkir tadi. Yasudahlah, aku kembali saja. Tapi, ah aku sadar betul aku benci dengan rasa penasaran. Akhirnya ku putuskan untuk keluar untuk melihat-lihat sebentar, siapa tahu ada orang jahat di sekitaran rumah ku. Begitu pikirku.
'krek', "eh, apa ini?" ucapku spontan melihat kaki kiri ku yang baru sekali melangkah, menginjak bingkisan berbungkus kertas padi. Segera ku ambil dan ku tutup pintu. Ku periksa langsung dari balik pintu, memutar balikan bingkisannya, menggoyangkannya, "apa ini bom?", pikir ku curiga.
'Ting tong!tingtong!!', "AAAAA!!!!" sahut ku terkejut setengah mati mendengar bel rumah ku kembali berbunyi sampai sampai tanganku menerbangkan bingkisan itu hingga terjatuh ke lantai. Dengan secepat kilat aku langsung membuka pintu agar aku tahu siapa yang daritadi bermain-main.
Pria berambut hitam dengan jambul panjang tinggi ke atas, mengenakan mantel abu-abu agak basah di pundak, jeans hitam, dan sepatu kulit coklat dengan titik-titik air menyapa ku. "Assalamualaikum, sudah lama sekali kita tidak bertemu. hhi". Kau ya, ku kira sudah musnah, dalam hatiku.
"Semudah itu?", tanya ku mengklarifikasi permintaan maaf yang baru ia ungkapkan sekitar semenit yang lalu. Jari-jari tangannya saling mengaitkan, terduduk dengan tatapan tertuju ke lantai di kursi kecil teras rumah ku. Sedangkan aku, menatapnya dari atas dengan posisi berdiri bersilang tangan. Aku tak mengerti benar apa sebenarnya kesalahan ia dalam hidupku. Akhirnya terpaksa otakku mengingatnya lagi dan hatiku merasakan sakit yang hampir sama seperti dulu. Akhirnya aku ingat, kesalahannya adalah membuatku jatuh cinta namun tak bisa menemukan jalan keluar agar aku tak menyukainya lagi.
"Aku tidak nyaman dengan ini, tolong. Aku tak ingin...", "hmm..Huff.." aku pun menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam memutus pembicaraannya, jangan sampai emosi yang nanti memenangkan ku malam ini. "Baik, aku maafkan, tapi aku harap kau cepat pergi dari sini." ketusku membalasnya. "Ah, dan satu lagi" lanjut ku, ia menegakkan badan dan mengangkat kepalanya menatap ku, aku memalingkan wajah. "Bingkisan ini pasti dari mu, bawalah, maaf aku tak bisa memberi mu hadiah apa-apa tahun ini.", aku sodorkan bingkisan itu tanpa menatap matanya. "Tidak usah. Ambillah, mungkin itu akan berguna untuk mu. Setidaknya terimakasih sudah mengatakan kata maaf padaku. Aku pulang. Assalamualaikum" balasnya langsung berdiri dan turun dari teras ku, tanpa suara... Dalam hati aku yakin dia tak ingin berdebat panjang tanpa akhir dengan ku lagi seperti terakhir kali kami bertemu. "Waalaikumussalam" jawabku kecil tetap menatap rumah tetangga depan ku dengan tatapan kosong.
'tik...tik...tik...' rintik hujan,
'kroook..krookk' katak yang bersahutan,
'hussshh...' hembusan angin yang tiba-tiba terdengar dari arah barat,
Aku tersentak. Jantungku terasa berhenti berdetak. Nafasku sesak. Batin ku lirih mengucapkan, "Terimakasih Tuhan, sudah menyuarakan langkah kakinya un... untuk..(glek)ku".
"hiks..hiks... hhuhuuhuu..." mata ku mulai meluapkannya lagi. Bagian leher di jilbabku bahkan terasa sudah lembab.Bingkisan itu terlepas dari tangan kanan ku, membantu tangan kiriku menampung air mata yang ku yakin akan sulit dibendung lagi. Ini terjadi lagi. Aku, terduduk lemas di teras seperti orang hilang akal.
Di tengah suasana langit yang ikut menangis ini, aku...
Aku hanyalah seorang diri.
Tidak ada yang memakirkan kendaraannya sedari tadi. Tidak ada. Ya Tuhan.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hibur Untuk Hati
RomanceMenahannya selama beberapa tahun Dan akhirnya terluap begitu saja setelah ku terima sepucuk bunga biru itu Betapa jahat pesan yang tersirat hari ini Lalu kapan hati ini bisa merasa terhibur?