Mereka yang sibuk menguliti, tidak akan pernah paham rasanya menjadi rendah hati. Mereka tidak akan pernah tahu apa yang sejatinya dirasakan oleh orang yang sedang mereka kuliti. Mereka sama sekali tidak tahu, bahwa untuk menjadi seseorang yang sangat rendah hati itu diperlukan hati yang lapang, hati yang mau memaafkan. Meski begitu, tidakkah ini sudah adil seperti ini?***
Kami pulang setelahnya, kembali ke rutinitas biasanya kami berada. Aftan sibuk dengan skripsi, aku sibuk dengan kerjaku. Pekerjaan yang kutinggalkan beberapa hari ini akhirnya menumpuk. Aftan berkali-kali menggodaku karena itu. Dia mengatakan kalau aku sebaiknya tidur di kantor saja daripada harus pulang. Agar cepat, godanya. Aku kembali fokus dengan pekerjaan, mengabaikan Aftan yang mungkin sekarang sedang terpuruk karena revisinya banyak.
Ketika aku bertanya kenapa revisinya banyak, Aftan menjawab kalau itu bukan revisi. Itu hanyalah tambahan-tambahan dari dosen yang ingin skripsinya jadi lebih tebal lagi.
"Jangan lupa makan, Manis!" Aku mengiriminya pesan sebelum kembali berkutat dengan tugasku. Aftan di sana mengetik pesan setelah itu.
"Jangan lupa makan juga, Mas!"
Kami memang harus fokus dengan apa yang akan kami lakukan sekarang. Liburan kemarin sudah membuat otak kami fresh, namun sekarang kembali lagi dengan tugas yang menumpuk. Aftan tergelak geli ketika tahu kalau aku lembur untuk menuntaskan pekerjaan yang kutinggalkan beberapa hari ini.
Sayangnya ada satu hal yang kini mengganggu pikiranku.
Aku ingin mengajak Aftan ke rumahku.
Ketika niatan itu kukatakan padanya, Aftan mengerjap ke arahku. Matanya menatapku, lalu melongo dramatis. Aku tidak tahu bagaimana bisa pemikiran itu melintas di otakku, hanya saja aku yakin. Aku yakin untuk menunjukkan pada Aftan bagaimana keluarga kecilku.
Lalu hari itu kami kembali melakukan perjalanan. Kali ini ke rumahku. Sebenarnya aku pernah bercerita pada Mamah tentang Aftan gara-gara ulah Maisha yang membahas siapa lelaki yang ada di desktop PC-ku. Adik perempuanku itu selalu saja penasaran, berbeda dengan kembarannya.
"Jadi, Mas anak sulung?" Aftan bertanya cepat. Kami ada dalam bus. Sebenarnya aku bisa saja mengajaknya naik motor, namun aku tidak ingin lelah di jalan dan akhirnya malas mengantar Aftan pergi.
"Iya, Mas anak sulung."
"Adik Mas yang kembar itu?" Aftan bertanya cepat. Sebenarnya aku belum pernah bercerita soal keluargaku. Aku ingin Aftan mengenalku lebih jauh dulu. Semuanya. Aku egois sekali, ya!
"Iya, tahu ya?"
Aftan mengangguk semangat. Matanya mengerjap menatapku. Dia memperhatikan jalan sekitar setelahnya. Hari ini Aftan begitu antusias, apalagi ketika aku menelepon Mamah. Mamah senang sekali ketika aku mengatakan kalau aku akan membawa lelaki manis ikut pulang.
Kami sampai menjelang malam. Begitu aku mengucapkan salam, Mamah dan Ayah menyambut kami dengan raut bahagia.
"Ini Aftan, ya?"
Tanpa memeluk anaknya, kedua orang tuaku langsung memeluk anak orang lain. Mamah dan Ayah tersenyum ketika melihat Aftan. Aku merengut. Bukan karena iri terhadap Aftan, tetapi karena kesal pada kedua orang tuaku karena memonopoli kekasihku.
"Anak kalian berganti?" tanyaku cepat. Mamah tergelak, sementara Ayah juga ikut terbahak. Mereka berdua kembali menarik Aftan masuk.
"Mamah masih kesal pada anak yang lupa pulang. Untung saja Aftan ingin ikut, jadi anak nakal itu ingat jalan pulang." Mamah berdecih ke arahku, sementara Aftan menunduk malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
Genel KurguIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...