Memang benar, perempuan itu adalah aku. Seorang gadis remaja yang mengalami pahit penderitaan di sekolah. Tak ada seorang pun yang mau menjadikan aku sebagai teman berkumpul. Mulai dari fisik, penampilan, keluarga, kondisi finansial, semua sudah menjadi topik utama olok-olokan di sekolah. Apalagi kebiasaanku yang takut akan benda pemantul cahaya yang terbuat dari kaca, menjadikan aku semakin populer dengan keanehan. Bukan karena takut akan pecahnya kaca atau kaca yang akan menggores kulitku, namun takut akan melihat seorang perempuan jelek, aneh, miskin dan suka bermimpi terlalu tinggi.Pertanyaan dari guru seperti "Mengapa seragammu sobek?" "Mengapa wajahmu lebam?" "Mengapa kamu berjalan pincang?" semua pasti kujawab dengan jawaban terpaksa dan tidak sesuai dengan pikiranku seperti "Tadi seragamku tersangkut" "Tadi aku terbentur" "Tadi aku terjatuh dari tangga". Bukan hanya karena takut aku menjawab yang sebenarnya, namun juga malu. Perasaanku memang sakit, namun akan lebih sakit lagi jika mereka kasihan kepadaku tanpa melakukan apa-apa.
Tak ada rasa kepercayaan diri dalam diriku karena aku tahu aku hanyalah anak dari seorang tukang bangunan yang mencoba mengubah nasib dengan menuntut ilmu di sebuah sekolah yang seharusnya tidak pantas untuk orang sepertiku. Telat membayar dan ikut ujian susulan sudah menjadi kebiasaanku di sekolah. Bahkan terkadang Ayahku harus menerima caci-maki dan memohon belas kasihan untuk bisa mendapat bantuan dana pendidikan. Yang bisa aku lakukan hanyalah bersabar dan berusaha yang terbaik dalam belajar, karena Ayahku pernah bilang bahwa penyebab ia tidak beruntung adalah karena kurangnya pendidikan.
Entah mengapa banyak orang di sekolah berbuat jahat kepadaku. Padahal aku tidak pernah berbuat jahat kepada mereka. Yang aku lakukan di sekolah megah dan ternama ini hanyalah menuntut ilmu. Selalu berusaha mempertahankan nilai-nilaiku yang hampir tak pernah buruk. Aku sadar betul Ayahku berusaha setengah mati bekerja siang malam untuk bisa menyekolahkanku disini, sehingga aku tidak ingin mengecewakannya. Beberapa orang bilang tindakan Ayahku adalah kesalahan, namun aku selalu ingin membuktikan bahwa Ayahku tidaklah salah. Aku ingin terus membuat ia tersenyum dengan memberikan kabar yang baik dari nilaiku di sekolah. Walau sebenarnya aku sangat menderita.
Kesendirian selalu menemaniku dimana pun. Di rumah maupun di sekolah. Bahkan sekolahku yang hampir sebesar stadium sepak bola belum seluruhnya aku jelajahi. Karena tidak banyak tempat di sana yang bisa membuatku merasa tenang. Biasanya di pojokan kelas ataupun koridor aku hanya menyendiri untuk membaca buku kusam atau melakukan hobiku dari kecil yaitu menggambar. Bukan menggambar pemandangan, wajah seseorang, ataupun kartun. Melainkan menggambar pakaian yang sangat ingin aku miliki namun belum mencapai kemampuan, dimana hal ini juga sering menjadi bahan tertawaan bagi teman sekolahku.
Suatu kali aku merasa sangat putus asa. Merasa bahwa beban dan penderitaanku ini semakin berat dan sudah mencapai puncaknya. Aku tidak tahu bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Aku mulai ragu akan bisa menggapai mimpi dan membahagiakan orangtuaku. Hingga suatu saat aku mengambil sebuah keputusan bimbang yang sangat buruk.
Di atas atap paling tinggi di sekolah, aku berdiri di tepi tanpa ada rasa takut. Aku sungguh kehilangan kontrol atas diriku. Pikiran kacau dan perasaan sedih menyerangku tanpa henti. Membuatku semakin yakin untuk langsung menyusul Ibuku yang telah mendahuluiku. Tepat sebelum aku melepaskan tubuhku, seorang perempuan menghentikanku hingga membuat aku tersentak dan menjauh dari tepi. Ia berkata "Apa yang kamu lakukan?" "Betapa bodohnya kamu mau melakukan itu!" "Orangtuamu tidak akan bangga jika kamu seperti ini!" kata-kata dari seorang perempuan itu sungguh menyadarkanku. Sayang, aku tidak melihat dirinya. Ia pergi begitu saja setelah membuatku menghentikan niat burukku. Tiba-tiba aku merasa pusing hingga kehilangan kesadaran.
Aku kembali tersadar di ruang UKS sekolah. Pandangan aneh dari orang-orang sekitar tertuju padaku, seolah sudah terbiasa dengan keanehan diriku. Tidak ada yang tahu apa saja yang barusan aku alami. Namun itu semua tidak aku perdulikan. Yang aku perdulikan adalah seseorang yang tadi menolongku. Aku ingin bertemu lagi dengannya dan mengenalnya lebih jauh. Hingga akhirnya suatu saat aku berhasil bertemu lagi dengannya. Ketika aku sedang memandangi tenangnya genangan air danau di belakang sekolahku untuk merenung, ia datang begitu saja. Aku langsung menyadari bahwa ia yang telah menolongku. Dari situ aku mulai bisa mengenalnya lebih dekat.
Perempuan sebaya itu bernama Nawala, nama yang sesuai dengan nama favoritku. Ia memiliki rambut panjang berwarna hitam kecoklatan. Wajahnya cantik dan kulitnya berwarna putih agak coklat. Entah perasaanku saja atau bukan, ia terlihat sangat mirip dengan mendiang Ibuku. Sehingga rasa rindu akan kehadiran Ibuku sedikit berkurang ketika aku memandanginya. Penampilannya sangat sederhana namun ia selalu terlihat menawan karena ketika aku melihatnya, senyuman selalu menghiasi wajahnya tanpa henti. Sifatnya sangatlah baik hati, dan cara bicaranya sangat lembut. Sungguh aku sangat kagum padanya.
Seringkali ia menyemangatiku dengan kata-kata positifnya. Mendukung hobiku. Memberikan aku nasihat-nasihat yang sangat menentramkan hati. Bahkan beberapa seperti yang pernah Ibuku sampaikan kepadaku. Masalahku di sekolah atau dimanapun menjadi lebih ringan ketika aku bersamanya. Ia juga seringkali memberanikan aku untuk menghadapi orang-orang yang sering menyakitiku. Meskipun ia tidak membantuku secara langsung, ajarannya sudah cukup untuk mengurangi penderitaanku di sekolah. Beberapa orang yang mau menyakitiku mulai berpikir dua kali untuk melakukannya.
Karakterku berubah hampir 180 derajat semenjak aku mengenal Nawala. Kepercayaan diri mulai bangkit dalam diriku. Aku menjadi orang yang lebih kuat dan lebih mengerti dalam menjalani hidup. Ia sangat setia menemaniku. Selalu ada ketika aku sedang membutuhkan saran ataupun seseorang untuk berbagi cerita. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal dirinya.
-
Bertahun-bertahun sudah hidupku kulalui bersama Nawala, hingga aku berhasil melewati masa-masa pahit di sekolah. Hidupku bahkan sudah menjadi jauh lebih baik. Ayahku tidak perlu lagi tidur 3 jam sehari untuk membiayai pendidikanku. Aku telah mendapat kesempatan untuk bisa mengurus diriku sendiri dan membalas jasa Ayahku. Aku sadar semua ini berkat aku mengenal Nawala.
Namun semakin aku bisa mengurus diriku sendiri, semakin jarang Nawala hadir untuk memberiku semangat dan nasihat. Kehadirannya mulai berkurang dan berkurang setiap waktu. Hingga suatu saat, ia tidak pernah hadir sama sekali. Aku pun khawatir dan mencari-cari dirinya. Namun kali ini sangat sulit untuk menemukan dirinya. Padahal biasanya ia selalu muncul tanpa harus aku cari. Jika aku harus mencarinya pun pasti akan mudah kutemukan dirinya.
Sambil samar-samar aku mendengar berita dari televisi yang disetel Ayahku, yang membahas tentang seorang lelaki muda yang telah memiliki banyak cabang restoran karena ide-ide uniknya, seorang siswi SMP yang berhasil memenangkan kompetisi fisika tingkat internasional karena ketertarikannya yang luar biasa terhadap pelajaran fisika, seorang gadis remaja yang mendapatkan beasiswa dari universitas ternama di Amerika sambil menjadi seorang desainer pakaian karena hobinya menggambar pakaian dari kecil. Aku terus mencari dimana Nawala.
Hingga akhirnya kutemukan lagi dirinya. Namun kali ini ia terlihat lebih cantik, senyumannya jauh lebih bersinar dan rambut hitam kecoklatannya sedikit lebih pendek. Ia menatapku dengan begitu dalam. Bangga. Seperti tidak percaya ia dengan apa yang telah aku capai. Aku bertemu lagi dengannya seperti biasanya, di sebuah benda dari kaca yang dapat memantulkan cahaya. Sebuah benda yang dulu pernah aku takuti.