Aku belajar banyak hal karena cinta. Aku belajar bagaimana menjaga, memahami, dan memaafkan. Aku yang dulu selalu sendirian dan tak peduli dengan orang lain kini telah menemukan makna cinta dalam hatiku. Aku mencintainya, seperti angin yang berbisik pada rumput. Menyapa pelan dari lembah pegunungan. Aku menyayanginya, seperti gemericik air yang mengalir dari air terjun. Aku memujanya, seperti lantunku terhadap asmaNya. Aku menyayanginya. Selalu. Selalu.***
Kami kembali setelah bermain-main di kota kelahiranku. Berkali-kali Maisha dan Albi merengek untuk mengantar kami, namun aku tidak mau. Aku tidak ingin membebankan Ayah dan Mamah. Lagipula aku senang sekali ketika harus berdua dengan Aftan. Kami seperti sepasang kekasih yang sedang bulan madu. Ah, ngomong-ngomong soal itu... aku lupa satu hal.
Aku bahkan belum pernah meminta Aftan untuk jadi kekasihku.
Aku hanya mengatakan betapa aku mencintainya, lalu akhirnya dia menyambut perasaanku. Tidak ada ikrar dariku untuk mengikatnya. Aftan mengatakan kalau dia kekasihku, aku pun demikian. Kami tidak sensitif hingga harus mengabari status kami. Hanya saja...
Aku mulai terusik.
Aku ingin lelakiku menuntut seperti kekasih lainnya. Aku ingin Aftan mengatakan padaku apa yang sedang dia inginkan. Bahkan kalau aku tidak ikut ke Jatiluwih waktu itu, mungkin aku tidak akan pernah tahu kalau Aftan tidak bisa makan ikan sendiri.
"Iya, Aftan?" Aku terkejut ketika melihat nama Aftan muncul di layar HPku. Tumben sekali anak ini menelepon ketika jam istirahat makan siang begini.
"Mas... sibuk?" tanyanya dari sana.
"Ini jam istirahat, Aftan. Ada apa?"
"Aku kangen..."
Aku tergelak geli. Aftan yang mandiri memang keren, namun Aftan yang manja jauh lebih menawan. Aku sadar kalau Aftan sedang merengut karena gelak tawaku. Aftan selalu melakukannya setiap waktu.
"Jadi, Mas tidak ingin aku rindukan?" decihnya. Kali ini aku gelagapan seketika.
"Bukan gitu, Aftan! Mas hanya kaget..."
Aftan berdehem.
"Habisnya, setelah beberapa hari perjalanan itu aku merasa ada yang kurang kalau tidak bersama Mas sekarang."
"Jadi, apa Mas sudah jadi candu tersendiri untukmu?" tanyaku balik. Aftan terbahak kencang. Dia menggumam.
"Tentu saja! Sejak dulu Mas itu seperti racun."
Aku sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Aku terbahak kencang, memegang perutku hingga terasa sakit. Aku bahagia, bangga namun juga geli.
"Kenapa Mas harus jadi racun?" Aku berbisik pelan di sela-sela tawa.
"Karena Mas selalu membuatku terkontaminasi. Mas selalu saja hadir dimana saja. Aku sering melihat Mas berkeliaran di depanku." Aftan berbisik manja.
"Oh ya? Pakai baju atau tidak?"
"Maaassss...." Aftan menjerit kesal. Mendengar jeritannya lagi-lagi aku tertawa kencang. Aku menghela napas, lalu berdehem sekilas.
"Mas pernah baca kalimat cinta yang ditulis oleh Dee."
"Seperti apa?" Aftan terdengar antusias sekarang.
"Tuhan, jika nanti aku jatuh pada cinta yang baik, jatuhkan aku sejatuh-jatuhnya!" bisikku pelan. Ini yang selalu kuucapkan dalam doa, ketika aku bersujud di atas sajadahku. Tidak pernah ada orang yang mampu membuatku jatuh seperti rasa yang kurasakan terhadap Aftan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
General FictionIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...