Epilog (Tergila-gila)

19 0 1
                                    

Tahun 2010. Tepatnya sekitar enam tahun yang lalu. Kala itu aku masih tak mengerti apa-apa. Tahu sendiri kan selugu apa bocah ingusan yang baru lulus sd dulu. Apalagi aku, hanyalah perempuan biasa. Yang tidak mencolok dalam hal apapun. Pelajaran maupun pergaulan, semua pas-pasan. Apalgi fisik, standar menengah ke bawah. Entahlah manusia yang tidak pandai bersyukur seperti aku seharusnya enyah di muka bumi ini.
Tahun itu awal kegilaan di mulai, aku melihat kakak kelas yang entah siapa namanya. Rambut jabrik, tubuh jangkung dengan postur tubuh tegapnya itu seketika menyihirku dalam hitungan detik. Tak sampai lima detik mataku langsung menatapnya lurus-lurus. Sangat mempesona. Senyum di wajah teduhnya seakan mengaliri energi yang sejuk di dadaku. Aku mulai mengumpulkan informasi tentangnya diam-diam. Ku dapati namanya adalah Febrian, ahh kak Febrian semakin mewarnai hari-hariku di sekolah.

Semakin lama mencari, semakin banyak informasi yang ku dapatkan tentangnya. Dari hal yang sangat tidak penting sampai hal yang tidak penting sama sekali. Apapun tentangnya selalu membuatku ingin tahu, karena aku begitu menyukainya. Sungguh alasan yang tak jelas.

Berpapasan dengannya adalah hal terindah, hingga saat ini ingatan itu masih membekas dalam memori. Begitu nyata, degup jantungku tak karuan. Suhu tubuhku langsung meningkat, rona wajah kemerahan di wajahku dengan mudah terbaca semua orang.

Hari-hariku mulai terasa indah, seindah senyum hangatnya. Binar matanya yang berkilauan indah, apapun dalam dirinya adalah keindahan. Sungguh bagiku dia adalah keindahan yang sempurna.

Hingga pada suatu hari, kebenaran rasaku menyebar ke seluruh sudut sekolah. Itu membuatku semakin gila, hampir semua siswa tahu jika aku begitu menyukainya. Sorakan ricuh selalu mewarnai ketika tak sengaja aku dan Febrian berpapasan. Dan itu membuat sekujur tubuhku seakan kehilangan pijakan. Karena teralu hebatnya getaran yang merambat dalam tubuhku. Aku semakin tak bisa menguasai perasaanku, yang perlahan semakin menggebu ini.

Kurasa dia cukup peka untuk membaca tingkah-tingkah konyolku di hadapannya. Tapi aku tidak tahu, kenapa dia memilih diam mengatasi itu. Seolah tidak peduli, dia membiarkan aku menjadi fans gilanya. Setidaknya jika aku jadi dia aku akan memberi keputusan tegas. Jika suka akan merespon, jika tidak aku akan marah karena pasti risih sekali. Dikejar-kejar wanita gila sepertiku. Ahh tapi aku bukan dia. Jadi aku tak pernah tahu seperti apa aku di matanya. Jika bisa, aku ingin sekali di takdirkan menjadi matanya. Sebentar saja. Agar aku tahu seperti apakah diriku di sana? Sesampahan atau hanya serpihan angin lewat yang tak penting?.

Kak Febrian. Begitu banyak cerita masa itu yang telah membuatku belajar, mengerti banyak hal. Bahkan juga tentang mantan pacar sekaligus pacarnya kala itu. Haha. Aku berulang kali di tuntut, dihina, di caci. Karena aku terlalu menyukainya. Aku hampir mati ketakutan menghadapi mantan pacar dan juga pacarnya. Sekalipun begitu, rasa ini tidak bisa goyah. Aku tetap menyukainya.

Hingga ku dengar kabar, dia tak lagi punya pacar. Mereka putus. Betapa terbang seluruh ragaku, melayang-layang dengan ringan.

"Kak Febrian boleh bicara?." ku kepalkan erat-erat tanganku yang sudah basah keringat. Napasku tak karuan. Aku hanya bisa guling-guling di kasur sembari menunggu balasan sms darinya.

"Iya boleh."

"Sebenarnya, kebenaran itu nyata. Jika aku benar-benar menyukai kak Febrian. "

"Oh iya gapapa."

Hanya itu jawaban darinya. Entah ini maksudnya apa? Tidak apa-apa? Lalu? Tidak adakah jawaban yang lebih tegas dari pada itu?

Keberanianku sudah berada di puncaknya. Bertahun-tahun aku menyabarkan diri, memberanikan diri untuk mengatakan itu semua. Tapi jawabannya sangat luar biasa. Bahkan telah kulupakan kodratku sebagai wanita yang tak boleh mendahului dalam menyatakan rasa. Dan dia seakan menendangku jauh-jauh dari dunianya.

Aku memang tak pernah punya keberanian secara langsung untuk bertatap wajah dengannya. Apalagi untuk menyatakan secara langsung. Tapi setidaknya dia harus memberi jawaban yang jelas. Yang bisa membuatku paham bagaimana aku harus bersikap pada dia selanjutnya.

Si PenunggumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang