I - Beda orang, beda cerita.

13 0 0
                                    

Setelah itu yang ku cari adalah pelampiasan. Aku tak tahu harus melarikan kemana kekacauan batin ini. Aku butuh sesuatu untuk sekedar berteduh sebentar. Setidaknya tempat istirahat dari kegilaan ku pada Febrian.

Hari itu, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan sosok yang teduh. Mata kami saling beradu sorot. Dengan rambut ikal, kulit putih, dengan tubuh yang kurus. Yang ku tahu dengan jelas dia adalah senior, anak kelas tiga. Seangkatan juga dengan kak Febrian. Dia cukup menarik dengan gaya sederhananya. Ada sesuatu yang ingin kuselami dalam sorot matanya. Entah berbeda saja caranya menatap.

Sepertinya dia bisa jadi sandaran, ketika aku lelah dengan kak Febrian. Batinku.

"Nin, kamu tahu siapa dia?." Aku menunjuk laki-laki yang tengah meneteng tas hitamnya di depan perpustakaan. Nindya yang sedari tadi nempel di lenganku langsung loncat kaget.
"Mana? Siapa?." Ia mencari sosok yang ku maksud.

"Yang bawa tas itu?." Ia melempar pandangannya. "Apa yang sedang bawa minuman kaleng?." Lanjutnya sembari menatap kedua laki-laki yang memang sejajar itu.

"Yang bawa tas!." Aku langsung semangat.

"Oh."

"Cuma oh? Jadi siapa? Tahu nggak!."

Nindya mulai memutar otak, seakan mencoba mengingat. Lalu ia menggaruk kepala, sambil tersenyum nyengir padaku. "Hehe. Lupa Ra."

Segera ku manyunkan bibirku, sebal menatapnya. Aku mendengus kesal, "bilang aja nggak tahu!."

"Tahu Ra! Dia kakak kelas aku waktu sd dulu. Cuma ya nggak tahu namanya. " Belanya.
"Ehmm... Oh ya biasanya  dia sering di panggil Kring."

Mataku terbelalak, Kring? Apaan? Telepon? Kringg!!. Aku langsung terkekeh.

***

Sejak aku bertemu dengan si Kring ada hal yang mulai kupaksakan untuk berubah. Ya, aku harus pura-pura menyukainya. Aku harus memaksa mengobati laraku karena kak Febrian. Karena penolakan yang sudah menghempaskanku. Tidak ada yang tahu aku sudah menyatakan rasaku. Ya, mungkin hanya aku dan dia saja. Bahkan Nindya dan Kanna sahabat yang selalu melebarkan daun telinganya untukku, mereka tidak tahu. Sengaja aku merahasiakan ini. Yang mereka tahu aku adalah fans fanatik kak Febrian.

Ketika seseorang mendengar namaku, yang tergambar di pikiran mereka adalah pengemis cinta Febrian. Mungkin karena dia adalah cinta pertama. Aku tak peduli soal wanita, harga diri ataupun gengsi. Yang aku tahu hanyalah memberi tahu jika aku begitu menyukainya. Hanya itu.

Setelah pengakuanku beberapa masalah mulai mengantri padaku. Sebelumnya aku sudah punya masalah dengan kak Risty. Dia adalah wanita cantik dan populer di masa itu. Entahlah, dia sering sekali melihatku dengan tatapan ingin melahapku hidup-hidup. Rasanya ada raut kebencian dan juga ejekan di sela kelopak matanya. Seolah dia tidak rela aku menyukai Febrian dengan segala caraku. Aku memang juga sering melihatnya nempel-nempel ganjen pada Febrian. Itu benar-benar membuatku geli.

Jam istirahat, setelah membeli makanan dari kantin aku Nindya dan Kanna masuk lagi ke kelas. Di awal aku sudah punya firasat buruk, ketika ku tahu dari tadi pagi segerombolan senior laki-laki seliweran tak jelas di depan kelas.
Ku lihat dengan was-was seorang laki-laki celingukan di pintu kelas. "Mana yang namanya Kara?." Suaranya yang keras langsung menggetarkan bulu kudukku. Ada apa dia mencariku? Dino teman sekelasku langsung menunjuk ke arahku dengan gemetar takut. Nindya dan Kanna menatapku penuh tanya. Kak Beme berteriak emosi menghampiriku. "Jadi ini Kara!. "
Aku tertunduk ketakutan, laki-laki ini mempunyai kekuasaan di sekolah. Kakak kelas yang sangat kejam dengan kenakalannya. Semua satu sekolah sudah mengenalnya, dia sering berkelahi dan sikapnya kurang ajar pada siapapun. Saat itu Ku lihat hampir seluruh siswa mengelilingiku. Melihat Beme yang mendidih di hadapanku. Aku jadi bahan tontonan saat itu juga. Dan tak ada satupun yang membelaku.
"Lo ngomong apa aja sama Wina!!." Ujarnya meledak-ledak.
Aku hanya geleng-geleng takut.
"Yang bener!!!." Bentaknya lagi dengan sangat keras.
Aku tak bisa apa-apa selain menahan air mata yang sudah mendidih di pelupuk mata.
"Lo bilang kan kalau gue pacaran sama Risty!!!." Ia mendecak kesal menatapku.
"Hah lo bilang ke pacar gue kan!!!." Bentaknya semakin keras.
Aku terunduk, semakin menciut. Air mataku tidak boleh jatuh saat ini. Meski dadaku semakin sesak. Hatiku tergerus-gerus.
"Gue panggilin Risty sekarang! Lo tanya sama dia! Gue udah putus lama sama dia!! Biar mulut lo nggak asal ngacoo!."

Dia segera pergi dari hadapanku, aku terbujur pasrah dalam tunduk. Tak berani mendongak kemanapun. Aku terlalu lemah, apalagi jika sudah terserang bentakan hebat seperti ini. Tak lama setelah itu dia datang lagi dengan kak Risty. Dengan santainya ia mendekapkan kedua tangannya sambil terus memaki.
"Lo tanya sama dia! Cepet!."
Aku hanya diam, kubiarkan anjing ini menggonggong.
"Lo budeg ya!. " Kak Beme semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Hingga bisa kuciun bau rokok yang melekat di tubuhnya. Benar-benar memuakkan.

"Sumpah anjing lo! Untung lo cewek coba cowok udah gue habisin!!!." Lagi, dia tak bisa bicara santai denganku. Bentaknya semakin brutal.
"Lo cewek! Pendiam! Tapi di belakang busuk!!!."

Sumpah kalimat terakhirnya benar-benar nusuk. Dia tidak tahu jika tingkah angkuh dan soknya itu akan terus membekas di sini. Di hati. Selamanya akan ku simpan, dan akan terus menjadi dendam.

Setelah ia enyah, dan semua siswa yang sedari tadi hanya menontonku enyah juga. Baru, tumpah semua kesedihanku. Pipiku sudah basah dalam sekejap, napaskupun sudah terisak-isak.

"Sabar Ra." Nindya yang sedari tadi di sampingku hanya bisa bungkam, kini ia mencoba menenangkanku. Menepuk-nepuk lembut pundakku.

"Ada masalah apa sih Ra?." Kanna yang menatapku dengan berkaca-kaca. Rupanya ia cukup tahu kesedihanku.

Tapi aku masih bungkam. Entahlah efek bentakan itu terlalu dahsyat untuk kondisiku. Aku tak bisa apa-apa selain terus menangis menjadi-jadi.

"Baru kali ini aku lihat kamu begini, menangis seperti ini. Pasti ini masalah yang besar." Desah Nindya menatapku prihatin.

Jika ku ingat beberapa hari sebelumnya. Tak sengaja aku bertemu Kak Yola teman satu lesan dulu. Dia memang pernah bertanya padaku. Apakah Beme masih menjalin hubungan dengan Risty. Jujur aku tidak tahu, aku hanya mengatakan jika dulu memang iya.
Mungkin dari sana, semua masalah ini muncul. Kak Yola yang ternyata pacarnya Beme salah paham dengan jawabanku. Dan aku yang harus menanggungnya. Apakah adil?.

Kejadian itu benar-benar memukulku. Sejak saat itu tak berani bertemu Beme. Enggan sekali melihat wajahnya meski berpapasan tak sengaja.  Segera ku putar kembali langkahku. Enek. Muak. Benci. Entahlah tiba-tiba aku merasa jijik saja padanya.
Dan kak Risty pasti sangat puas melihatku terhina seperti itu. Aku tahu dari caranya setiap melirikku.

***
20 Februari 2011.

Selamat ulang tahun kak Febrian :). Jemariku perlahan mengetiknya, dan langsung mengirim sms padanya. Entah sekalipun diabaikan aku tetap tak bisa berhenti mengejarnya. Dan aku terus memandang topi hitam yang kala itu sempat hits di sekolah. Sengaja aku membeli topi ini untuk kak Febrian. Hanya saja masih berfikir bagaimana memberikannya. Untuk bertemu langsung, bertatap wajah dengannya tubuhku sudah gemetar hebat. Padahal masih dalam radius yang cukup jauh. Aku menimbang-nimbang, mencari waktu yang tepat.

Si PenunggumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang