Yang Takkan Lekang Oleh Waktu 8
Zahra
Mario mematikan kameranya.
"Udah banyak?" tanya salah satu temannya, laki-laki sesama fotografer.
"Banyak. Bagus lagi. Foto-fotonya, worth lah. Gue cabut ya Jean. Salam buat Faiza."
Mario merogoh sakunya dan mengambil kunci motornya. Menstarternya lalu pergi. Seperti biasa, toko buku.
-o-
Novelis cantik itu namanya Zahra. Lengkapnya Zahra Nadanie. Dulunya ia penulis fanfiksi sekaligus blogger dengan nama beken Zahrana. Setelah tulisan blognya menjadi viral, ia menerbitkan buku dengan nama lengkapnya sendiri. Sampai sekarang, ia telah menerbitkan dua novel dan satu kumpulan puisi.
Saat ini Zahra sedang mengisi acara bincang-bincang mengenai novel barunya yang sudah terbit. Peminat acara itu cukup banyak, didominasi anak remaja.
Selain itu, pengisi acaranya juga tak kalah heboh. Seorang komika perempuan bernama Nakagawa Sivia.
"Jadi gini, gue kan pernah jalan bareng kecengan gue, terus gue dikenalin ke kakaknya, dibilangnya sih gue temen. Eh, kata kakaknya gini 'itu temen atau calon istri?'" [1]
"Terus ya, sahabat gue itu orangnya gak enak banget. Kagak bisa teriak 'AAAAAA!!!!' gitu kalau histeris. Bisanya cuman bilang 'Aaaaaaaa...' dengan nada dasar di F. Alias fals. Kagak enak dengernya." [2]
Dan gelak tawa pun terdengar.
"Saya Nakagawa Sivia, dan saya bukan waifu musiman. Thank you!"
Sivia turun dari tempatnya berdiri, sempat melayani beberapa tandatangan dan foto-foto bareng. Dan tahu-tahu ia bertemu Mario.
"Hey Vi, makin garing aja lawakan lo!" sapa Mario.
"Hehe, makin pesek aja idung lo!" jawab Sivia.
"Ada acara apaan sih?"
"Talkshow. Zahra Nadanie bahas bukunya. Lo mau ikut? Gue mau balik lagi sih soalnya abis ini ada sesi foto gue sama dia."
Mario mengangguk. Mereka berdua kembali ke lokasi. Kembali menyimak acara talkshow tersebut.
Zahra Nadanie, sangat cantik dengan minidress merah dan rambut yang disanggul. Senyumnya ramah dan sopan, dan jawaban-jawabannya sangat cerdas. Untuk sesaat, Mario sedikit terhipnotis.
"Gue baru beli bukunya, sekali. Bagus banget isinya, walaupun cuman kisah cinta biasa," bisik Mario ke Sivia.
"Iyalah. Dia oke. Tweet-nya aja bagus-bagus. Emang elu, isinya lawakan garing semua," sindir Sivia.
"Eh, kebetulan gue bawa bukunya." Mario mengeluarkan buku Zahra dari tasnya. Diterima oleh Sivia. Gadis setengah Jepang itu membaca buku itu, mengangguk-angguk, dan membolak-balik halamannya. Lalu mengembalikannya kepada Mario.
"Males. Picisan isi ceritanya. Mainstream,"
Mario tertawa kecil.
"Gue balik dulu ya kesana?" Sivia kembali ke lokasi acara. Mario masih ada di sekitar sana, mengintai acara itu melalui balik-balik rak buku yang sedang ia jelajahi.
"Udah?" tanya Mario.
"Udaaaaah. Eh, nih Zahra. Mana buku lo?"
Mario tercengang. Yang ada di sebelah Sivia kali ini adalah Zahra. Berbalut dress selutut berwarna pink lembut, dan rambutnya diikat satu ke belakang.
"Ini temen gue, Mario Stevanio. Yo, ini Zahra Nadanie."
Kedua penggila sastra itu berjabat tangan. Sivia merebut buku Mario dan menyerahkannya kepada Zahra.
"Tanda tanganin nih. Spesial buat si kunyuk satu ini!" kata Sivia dan dapat dirasakan kalau Zahra tergelak. Tanpa ragu, gadis manis ini menandatangani buku Mario. Dan dapat dirasakan dada Mario berdesir.
"Makan yuk? Kita ke bawah?" tawar Sivia.
"Lo yang traktir?" tanya Mario.
"Bayar sendiri-sendiri. Fastfood aja lah," ketus Sivia dan mereka berdua turun ke lantai dasar.
-o-
Mario agak canggung kali ini. Di hadapannya, ada Zahra yang asyik mengetik di ponselnya, sambil menunggu fish burger-nya yang belum diantarkan. Sivia juga sama, mengetik di ponselnya.
"Kita mau makan atau asyik dengan ponsel sendiri sih?" tanya Mario, agak tersinggung. Zahra tertawa kecil.
"Maaf, aku hanya mengetik ide di ponselku. Coba kau tegur Sivia."
"Apaan sih?" Sivia sewot. "Gue lagi ngechat seseorang. Nah, gue keluar dulu bentar."
Sivia berdiri dan pergi keluar. Tak lama kemudian ia kembali... dengan seorang gadis.
Fyvian Melodi Nur Azmi.
Dan hawa canggung makin dirasakan Mario. Makan bersama tiga gadis cantik! Bukankah itu anugrah, hei Mario Stevanio? Oke, Sivia memang pengecualian. Mana mau Mario sama cewek Jepang yang cablak itu. Tetapi, dengan Ify dan Zahra?
-o-
"Eh sumpah ya Vin. Mantan pacar lo itu sialan banget tau nggak?! Apa-apaan dia ngajak gue makan bareng cewek-cewek?! Ya mending kalau dia cuman bawa Zahra! Gue seenggaknya bisa diskusi apaaaa gitu sama dia! Tapi ini, Ify? Man, gue kagak punya nyali kalau sama si Ify, terus ada Sivia! Lo tau lah Sivia suka banget ngebully gue setengah mentah!"
"Setengah mateng, cuy! Telor setengah mateng!"
"BACOT LO KODOK SIPIT!" teriak Mario di telepon. Ia sedang curhat colongan dengan Alvin melalui telepon. Jangan tanya bagaimana hebohnya. Siapkan penutup telinga apabila kalian masih ingin menjaga kesucian telinga kalian.
"Yaudah lah, lo tuh kagak bisa bersyukur banget sih! Geblek atau gimana lo, hah?!" maki Alvin.
"GUE NGGAK KAYAK LO YANG PLAYBOY, SIPIT!"
"DIEM LO, PESEK!"
"SIPIT!"
"PESEK!"
"SIPIT!"
"PESEK!"
"SIPIT!"
"PESEK!"
"SIPIT!"
"PESEK!"
"SIPIT!"
"PESEK!"
"DIEM LO!"
"LO JUGA DIEM!"
Mario menutup sambungan dengan kasar. Di seberang sana, Alvin menyeringai. Sayangnya bukan menyeringai seksi, melainkan menyeringai penuh kemenangan.
Dan setelah ini Mario dihadiahi pukulan dengan gagang sapu oleh ibunya, karena membuat kegaduhan di rumah.
Mario kembali ke kamar dengan kesakitan, lalu membuka email yang masuk. Matanya membulat, terkejut dengan email yang masuk ke ponselnya.
"Hai, ini aku, Zahra. Aku dapat emailmu dari Nakagawa Sivia. Keberatan kalau minggu depan kita berdiskusi soal sastra di tempat yang tadi?"
Mario melongo. Seolah tak percaya kalau Zahra mengajaknya berdiskusi. Oh maaaaan, Zahra itu novelis profesional! Masa dia mau berdiskusi dengan penyiar radio yang aneh sepertinya?
-to be continued-
[1] Lawakan tahun lalu buatan saya. Garing ya?
[2] terinspirasi dari salah satu fanfiksi Kuroko no Basuke.
Oyeah, Zahra di sini bukan tokoh antagonis ya. Tokoh antagonis ada, tapi tebak-tebak aja. Silahkan baca-baca lagi kalau mau menebak-nebak siapa antagonisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Takkan Lekang Oleh Waktu
Fanfiction"Mau bagaimanapun, pertemuan di pemakaman bukanlah hal yang wajar dan akan berkesan seumur hidup." "Tapi itu kan relatif. Siapa tahu ada yang lain dengan pertemuan di tempat yang tak biasa. Kurasa ada yang akan menjawab mengapa pertemuan harus berla...