12: Penglihatan

708 70 5
                                    

Angin dingin menyambut Vania pagi ini. Sweater yang ia kenakan tak banyak membantu untuk menghangatkan suhu. Ia berlari kecil memasuki gerbang sekolah.

Sepertinya langit akan segera menangis, menumpahkan beban yang ia tanggung.

Vania terdiam beberapa saat. Ia menatap langit, kemudian menghirup napas dalam-dalam. Udara dingin memasuki paru-parunya membuatnya semakin kedinginan. Vania menggeleng. Mengembalikan kesadarannya, dan berjalan menuju ruang kelas.

Sedangkan, disisi lain. Alsera tengah melangkah sedikit melayang untuk mempersingkat waktu. Ia bangun terlambat pagi ini. Tas ransel yang cukup berat hari ini juga cukup menghambatnya. Ingin rasanya ia melepas beban itu dari punggungnya dan membiarkannya melayang bebas di udara.

Alsera menggeleng. Menyadarkan pikirannya, Ia memikirkan hal yang mustahil dilakukan di posisi ini. Ia kembali berjalan--sedikit melayang--hingga berhasil sampai ke sekolah.

Axel dan Dion tengah duduk berhadapan di dalam kelas. Dion mengunyah permen karet seraya memandang langit mendung untuk membuang suntuk karena Axel sendari tadi asik membaca dan tenggelam dalam dunianya sendiri.

Vania tiba di kelas. Matanya menyisir keadaan sekitar. Ia menghela napas. Alsera belum ada! seru batinnya sebal.

Alsera melangkah memasuki area sekolah. Helaan napas panjangnya terdengar lega. Rintik hujan turun tepat setelah Alsera menginjakan kakinya di lantai koridor sekolah. Setelahnya, petir dan kilat menyusul.

"Pagi Nona Manis," sapa suara yang memiliki aura sangat memikat.

"Cih." Alsera menatap tajam Orias dihadapannya.

Orias tertawa. "Jangan begitu, aku seniormu di sini lho? Dasar Adik kelas."

Alsera mengendikan bahunya, kemudian membuang pandangan.

"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu," ujar Alsera ketus.

Kakinya hendak melangkah lebar menjauhi Orias yang membuatnya geram. Namun terhenti saat rambutnya tertarik oleh tangan seseorang.

"Kenapa lo kasar banget sama Orias hah?!" Suara Fira memasuki indra pendengarannya. Tangannya mengcengkram rambut Alsera kuat.

Alsera memutar bola matanya malas. "Memangnya kenapa? Apa gue salah? Hmm? Dia yang ganggu gue tahu."

Fira melotot mendengarnya. Tangannya segera mengcengkram rambut Alsera lebih kuat, namun Alsera menepisnya menggunakan sedikit kekuatannya, sehingga tangan Fira terlepas.

Alsera melenggang pergi begitu saja. Menghiraukan tatapan marah Fira yang tertuju padanya. Fira mengeram kesal, hingga amarahnya reda karena Orias memeluknya hangat.

"Biarin aja tikus itu lari sayang," bisiknya menenangkan.

Fira membalas pelukannya dengan lembut

"Makasih, Ri, ujarnya lembut.

Devaza mengatak kepala Fira kesal. "Pagi-pagi udah pelukan di lorong, dasar," ketusnya.

Fira tertawa. Ia melepas pelukan Orias dan merangkul Devaza. "Belajar atau bolos hari ini?"

Devaza memincingkan matanya. "Gue mau belajar. Lo pacaran aja sono." Devaza melenggang pergi begitu saja.

Fira mengehentakan kakinya kesal. "Kenapa dia sensi banget sih?"

Orias terkekeh. Ia segera merangkul Fira dan kemudian berbisik, "Ayo pergi ke ćafe sana."

Fira mengangguk penuh semangat.

Setelahnya pasangan itu pergi meninggalkan area sekolah tanpa beban dan tanpa rasa bersalah.

Alsera yang tengah menyusuri koridor menahan amarah. Orias dan Fira benar-benar menghancurkan moodnya pagi ini.

"Huh! Menyebalkan!" ketusnya.

--00--

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam tujuh, delapan," hitung siswa-siswi  XI-1 dengan penuh semangat--atau tepatnya semangat untuk nilai bagus dari bapak guru olahraga yang sangat pelit nilai ini. 

Padahal langit mendung, tadi rintik hujan sempat turun, namun tetap saja pelajaran olahraga tetap berlanjut.

Prriiitt!!

Serempak seluruh siswa berhenti mendenga peluit.

"Yang merasa laki-laki segera lari memutari lapangan basket sebanyaka lima kali!" serunya.

Mereka serempak mendengus kesal. Axel sendiri menghela napas pasrah pada keadaan.  Ia mulai melangkah kecil, besar, cepat dan terus bertambah cepat.

Vania duduk di tengah lapangan mengatur napasnya--diantara siswi lain yang jatuh terduduk di tengah lapangan. Mata Alsera melirik Axel yang tengah berlari.

Alsera tertawa kecil saat melihat ekspresi Axel kehabisan energi saat putaran terakhir.

"Capek ya?" tanya Alsera seraya mengangkat sedikit kedua sayapnya.

"Huh. Pamer," sahut Axel pelan.

Alsera terkekeh. "Nggak apa sekali-sekali." 

Axel berlalu dari Alsera. Ia menduduki bangku yang berada di pinggir lapangan basket. Ia beristirahat, mengisi energinya yang hilang sesaat tadi.

"Selanjutnya putri lari tiga putaran! Cepat!" seru guru itu lagi.

Axel memperhatikan Alsera yang sesekali membuka sayapnya saat berlari. Axel dapat melihat dengan jelas bahwa Alsera bukan berlari, melainkan melompat bersama sayapnya dengan sangat ringan.

"Dasar curang," gumam Axel.

"Siapa curang, Xel?" tanya Dion yang entah sejak kapan ada disebelahnya.

Axel menoleh. "Bukan siapa-siap--"

Axel melotot kaget. Dibelakang Dion ia melihat kerumunan mahluk berpakaian hitam berbaris. Seolah siap menyerang laksana tentara siap menyerang musuhnya. Namun, Axel sadar itu bukanlah manusia.

"Xel?" Dion bertanya-tanya mengapa sahabatnya diam tiba-tiba.

Tentara berbaju hitam itu terus maju dan maju. Mendekat dan terus mendekat. Ketakutan menerpa jiwa Axel.

Ting!

Suara pedang beradu--bukan itu bukan pedang. Melainkan bola cahaya hitam dan putih bersinggungan di udara. Kebaikan dan kejahatan bertarung.

"Xel!" Dion menyenggol tubuh Axel keras.

.

.

.

.

TBC, 23 Oktober 2016.
A/N: Aduh... ternyata di SMA itu tugasnya bejibun banget nyah...hahaha. Maaf kan icha readers *nunduk* Icha jahat banget yah baru update, terus pending-in cerita tanpa pemberitahuan *sujud* maaf. Sekarang Icha ganti deh jadi [Very Slow Update] nyah(?) :'''

Angel, Human and DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang