Awas typo bertebaran!
Kinal hanya duduk diam di anak tangga belakang sekolahnya. Dia hanya duduk seorang diri dengan dagu yang dia percayakan pada tangannya. Pandangannya menatap lurus ke depan, tetapi pandangan tersebut kosong tak mempunyai arti.
Kejadian beberapa saat yang lalu masih terekam jelas di ingatannya. Kejadian yang kembali membawanya pada kubangan luka, perasaan yang entah bagaimana bentuknya namun begitu sakit untuk dirasakan.
Kinal menekuk kedua kakinya, memeluk dengan kedua tangannya dengan kepala yang betumpu lututnya. Airmatanya kembali turun perlahan, tapi cukup membuat basah di pipinya
Airmata itu hanya perwakilan dari semua yang ia rasa. Kinal membiarkan airmatanya terus mengalir, tidak sedikitpun ia berniat untuk menyekanya. Dia lebih memilih membiarkan airmatanya terus mengalir, karena Kinal percaya setiap airmata yang jatuh itu bisa membawa sedikit beban dan perasaannya.
"Tak seharusnya kamu mendekat, dan tak seharusnya aku juga mendekat," gumam Kinal pelan, pundaknya masih saja naik turun karena menangis.
"Seharusnya kamu tak harus memasuki kehidupanku, dan tak seharusnya aku membiarkan kamu masuk dalam kehidupan," gumaman Kinal kembali berlanjut.
"Bodoh! sangat bodoh aku membiarkan seseorang kembali memasuki duniaku!" Imbuhnya dengan memukul anak tangga yang ia duduki.
Flashback on
"Tetapi aku berharap kamu tidak akan kecewa dengan alasan aku ini. Semoga kamu bisa menerimanya," imbuh Beby menatap Kinal yang sudah tidak sabar menunggu.
"Cepat katakan, Beby!"
"Alasan mengapa aku menghidar darimu akhir-akhir ini adalah," Beby sedikit menjeda ucapannya, hal itu tentu membuat Kinal penasaran.
"Karena..."
"Karena apa?" sela Kinal.
"Karena gue malu temenan sama anak tunarungu kayak lo! Gue malu punya temen cacat kayak lo!" ucap Beby keras. Membuat siapapun yang ada disana memandang mereka silih berganti.
Sedangkan Kinal dia terperangah dengan ucapan Beby. Terkejut? Sudah tentu Kinal terkejut. Alasan Beby sungguh diluar yang Kinal pikirkan dan ucapannya kali ini tentu kembali meninggalkan luka baru.
"Kenapa?" tanya Kinal pelan. Dia berusaha kuat padahal airmatanya sudah siap terjun bebas, namun kelopak matanya masih membendungnya kuat-kuat.
"Lo masih tanya kenapa, Kinal? Lo budek apa gimana? Oh, iya lo itu anak tunarungu, pantes sih kalo lo masih tanya kenapa?' ucap Beby nyerocos yang kembali membuat Kinal sakit. "Apa perlu gue ulang sekali lagi? Biar lo denger, sekalian kalo perlu gue pake toa masjid!"
"Gue ulang sekali lagi, Devi Kinal Putri. Alasan gue ngehindar dari lo selama ini adalah gue malu punya temen cacat, gue malu temenan sama anak tunarungu macem lo!"
Kinal masih diam tak bergeming, airmatanya masih mampu dia tahan meski sebentar lagi akan jatuh membasahi pipinya.
"Selama ini gue nyesel banget temenan sama lo, nyesel banget! Bener sih kata temen-temen gue, kalo temenan sama anak tunarungu macem lo ini hanya bikin malu dan nyusahin! Asal lo tau, hidup lo itu cuma nyusahin orang, bikin malu keluarga doang,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Hayran KurguDandelion. Sama kah hidupku dengan bunga Dandelion? Rapuh, sendiri, tak terlihat oleh siapapun Hanya sebuah karya fiksi semata.