Lelaki itu duduk di sana. Irjo terlambat datang karena macet. Dia gila di jalan, main kebut-kebutan hanya untuk sampai di rumah sakit lebih cepat. Ketika rasa sabarnya sudah mengikis habis, Irjo menitipkan motornya di salah satu toko. Secepatnya dia berlari kencang, menerobos kendaraan yang berbaris rapi tanpa bisa bergerak. Irjo sampai di rumah sakit yang agak jauh. Dia mati-matian menghubungi Adnan untuk bertanya dimana rumah sakit tempat Gian berada. Ketika Irjo sampai di rumah sakit yang dituju, lelaki itu sudah duduk di bangsal rumah sakit. Menunggu di sana."Kenapa bisa ada di sini?" Lelaki itu bertanya. Datar. Dengar itu, Jo! Dia hanya datar-datar saja, sementara kamu sudah panik seperti ingin mati rasanya.
"Kenapa kamu ceroboh sekali, hah?!" Irjo tidak peduli dimana dia berada sekarang. Irjo sudah benar-benar kelabakan, namun lelaki ini sama sekali tidak merasa sakit atau setidaknya mengeluh.
"Bukan urusanmu!" Lelaki Fotografi itu menjawab datar.
Tangan Irjo terkepal marah, namun dia tidak mampu melampiaskan amarahnya lebih jauh lagi. Akan ada banyak orang yang terganggu karena tingkahnya. Irjo menatap lutut Gian. Ada perban yang melingkar di sana, sementara betisnya lebam. Irjo ngeri hanya dengan melihatnya.
"Apa kata dokter?"
Gian tidak suka ketika dicemaskan seperti ini. Dia bukan tipe lelaki manja yang tidak bisa melakukan apa-apa sendiri.
"Tidak apa-apa."
"Apa perlu aku tanya ke dokter langsung?"
Gian bungkam.
"Lukanya bagaimana?" Sekali lagi Irjo bertanya. Dia belum puas untuk menginterogasi Gian perihal lukanya. Gian hanya sedang menunggu Adnan menjemputnya. Meski begitu dia tidak mengatakannya pada Irjo kalau dijemput Adnan.
"Tidak ada yang serius."
"Seperti ini tidak serius?"
"Memang tidak serius. Hanya beberapa jahitan saja, tidak perlu berlebihan begitu!" Gian berdecih malas mendengar ucapan Irjo. Dia tidak terlalu tertarik untuk menjelaskan lebih jauh lagi. Irjo melotot ganas.
"Dijahit?! Kamu bilang tidak parah? Kenapa harus dijahit segala?"
Gian melengos malas.
"Aku masih hidup, tidak sampai transfusi darah. Kenapa kamu berlebihan begitu?" tanya lelaki Fotografi itu lagi. Irjo terusik ketika mendengar penuturan Gian.
Setelah dia berlari jauh hingga sampai di rumah sakit dan menemukan lelaki ini dengan jahitan di lutut, Irjo sudah yakin kalau dia benar-benar dibodohi. Oleh hatinya.
Kenapa dia harus kelabakan, sementara korban sesungguhnya tenang-tenang saja? Kenapa Irjo harus marah, sementara dia tidak merasa sakit sedikit pun?
Ketika pikirannya sedang sibuk mencari jawaban, Adnan muncul bersama seseorang. Lelaki yang satu UKM dengan Gian itu juga membawa seseorang. Sungguh, Irjo tidak masalah dengan keberadaan Adnan. Adnan adalah anggota UKM Fotografi yang juga pernah sangat berjasa padanya. Irjo tidak masalah dengan kedatangan Adnan. Hanya saja... Adnan membawa seseorang. Seseorang yang pernah Irjo pergoki sedang berdiri di depan kos Gian, yang pernah mengobrol dengan lelaki Fotografi itu. Lelaki vespa butut yang membuat Irjo kesal setengah mati.
"Motor kamu sudah masuk bengkel, Gian. Semuanya sudah beres." Lelaki vespa butut itu menepuk bahu Gian sekilas. Gian tersenyum lemah.
"Terima kasih, Bang..."
Irjo tidak suka tiba-tiba. Bagaimana bisa Gian tersenyum pada lelaki vespa butut itu dengan tulus, sementara padanya Gian ketus sekali! Irjo tidak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
Художественная прозаIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...