Aku Jinki, atau lebih lengkapnya Lee Jinki. Tapi aku lebih suka jika kalian memanggilku Onew, itu terdengar lebih akrab di telingaku. Usiaku saat ini 18 tahun lebih beberapa bulan. Aku adalah salah satu mahasiswa baru jurusan musik di Hanyang University.
Di Seoul aku belajar hidup mandiri, semua hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidupku kulakukan dan kupertanggung jawabkan sendiri. Orang tuaku? Mereka berada jauh di pedesaan sana. Hidup mandiri di kota sebesar ini bukanlah hal mudah namun tidak begitu sulit juga. Sejak SMA aku pindah ke Seoul. Belajar dan bekerja paruh waktu untuk tetap bertahan hidup. Aku ingin menjadi seorang composer terkenal dan masuk universitas ini menjadi salah satu jalan menuju impianku.
Untuk masalah tempat tinggal, aku memilih untuk tinggal di asrama. Setidaknya aku bisa mendapatkan teman sekamar. Dan lagi kehidupanku akan lebih teratur nantinya, kurasa. Kali ini aku harus lebih fokus. Mungkin Tuhan sayang padaku, sehingga aku tidak perlu repot memikirkan biaya hidup lagi sekarang. Karena prestasi yang kumiliki saat SMA dulu, menjadikanku kandidat terkuat untuk mendapatkan beasiswa penuh melanjutkan studi ke perguruan tinggi sesuai pilihan sendiri.
Kegiatan perkuliahan belum dimulai, masih banyak waktu buatku bersantai sekarang. Karena tidak ada kerjaan, aku hanya duduk santai di dalam kamar. Memandang seluruh penjuru kamar yang baru dua hari terakhir kutempati. Desainnya minimalis, semua didominasi dengan warna putih. Fasilitas yang tersedia pun kurasa cukup lengkap. Dalam kamar ini ada dua single bed, dua meja belajar yang terpisah dan satu kamar mandi dalam. Ada dua buah lemari, satu TV LED lengkap dengan DVD dan speakers. Rak sepatu yang terpajang di dekat pintu masuk dan beberapa fasilitas lainnya. Di bagian depan ada balkon yang tidak terlalu luas tapi cukup bagus sebagai tempat bersantai.
Lamunanku terpecah saat pintu kamar tiba-tiba perlahan terbuka. Menampilkan sosok laki-laki yang kini berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar berwarna hitam yang menjadi bawaannya.
Entahlah, apakah dia bisa disebut sebagai laki-laki? Maksudku, dia terlihat terlalu cantik, sangat cantik untuk menjadi bagian dari kaum adam. Wajahnya kecil dengan pipi sedikit berisi namun masih terkesan tirus. Kulitnya putih dan kelihatan sangat halus, bahkan hanya dengan melihatnya sekilas bisa membayangkan betapa lembut kulit wajahnya itu. Bibirnya mungil berwarna pink seperti bibir perempuan, lucu. Matanya terlihat seperti manik kucing dengan tatapan yang tajam namun tetap ada kesan hangat di dalamnya. Tubuhnya kecil namun tidak begitu kurus, tapi terlihat sedikit lemah untuk ukuran laki-laki. Seakan membuatmu ingin mendekap dan melindunginya dari apapun.
"Apa aku boleh masuk sekarang?" Suaranya mengembalikan kesadaranku. Aduh, malunya dengan terang-terangan memperhatikan seseorang.
"O..Ohh.. Masuklah. Maaf membuatmu menunggu di depan pintu." Aku menjawab dengan kikuk. Rasa malu itu masih ada, walaupun kulihat dia sendiri mengabaikannya. Dia melangkah masuk dengan santai sambil menarik kopernya. Melepaskan sepatunya dan mengganti dengan sendal kamar.
Dia memperhatikan seluruh isi kamar ini. Berdiri tepat di tengah ruangan yang dilapisi karpet bulu berwarna coklat sebagai pemisah antara sisi ranjang di sebelah kiri dan kanan. Tanpa melihat ke arahku dia bertanya bagian mana yang bisa dia tempati, padangannya masih sibuk menjelajahi isi kamar ini.
"Karena aku datang lebih dulu jadi aku sudah menempati yang kiri, kau bisa memakai yang sebelah sana." Kataku santai, berdiri dari posisiku dan berjalan melewatinya.
Tapi langkahku terhenti ketika mendengar sebuah penolakan darinya, "Aku tidak suka berada di sebelah kanan."
"Lalu?" Aku mengerutkan dahi, tidak terlalu paham maksud perkataannya barusan.
"Kau pindah, jadi aku bisa menempati sebelah kiri itu."
"Memangnya kenapa dengan sebelah kanan? Ini hanya masalah kanan dan kiri tapi kau memerintahku untuk pindah, padahal aku yang lebih dulu datang dan menempati kamar ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story : If One Day You Have The Courage
FanfictionKetika saatnya hati yang menentukan, Akal sehat dan logika terkalahkan. Ketika hati yang menuntun, Perasaan hanya bisa mengikuti. Bahkan jika itu sebuah kesalahan, Denganmu, bersama, kita akan membuatnya menjadi benar. Thank You . . . "Terima kasih...