Gian jadi berbeda. Lelaki Fotografi itu jadi lebih banyak diam. Ketika pulang dari Danau Klakah tadi, lelaki itu jadi lebih pemikir. Gian benci banyak hal sekarang. Salah satu yang masuk dalam nominasi hal yang dia benci adalah... dirinya sendiri. Kenapa dia harus memikirkan perasaan Irjo terhadapnya? Kenapa Gian jadi takut kalau Irjo hanya mempermainkannya?Gian lelaki, Irjo pun lelaki. Irjo punya cinta, dia pun sama.
Familiar dengan kalimat ini?
Iya, itu memang lirik lagu dangdut, kok!
Gian menelan ludah gugup. Sekarang hanya kencanggungan yang menyapa hatinya. Gian tidak tahu sejak kapan dia mulai terusik dengan sikap Irjo terhadapnya sekarang. Meski pada awalnya memang terusik, tetapi sekarang dia jadi makin kesal.
"Kamu sakit?" Irjo bertanya pelan.
Mereka ada di dalam kereta sekarang. Mereka harus kembali ke kota perantauan karena lusa sudah harus kuliah.
"Tidak." Gian menjawab tak kalah pelannya. Matanya menerawang, menatap jalan-jalan yang dilewati oleh kereta. Sawah-sawah yang terhampar luas di sana juga jadi saksi bagaimana lamunan Gian menerawang.
Irjo di sebelahnya menyenggol lengan Gian.
"Kok kamu jadi pendiam?"
Gian berdecih, menoleh tajam ke arah Irjo dengan wajah lelah. Enggan juga. Gian hanya sedang menghindari Irjo sekarang ini. Siapa tahu saja dengan diam semuanya jadi kembali seperti semula. Gian tidak ingin perasaannya dicampur adukkan seperti ini. Dia tidak ingin seperti ini. Dia harus kembali pada yang seharusnya.
Gian harus kembali jadi yang dulu. Cuek.
Jadi, dia memutuskan untuk jadi lebih diam daripada harus menghujat Irjo. Dia tidak ingin Irjo jadi lebih dekat dan mengetahui titik lemahnya lantas memanfaatkannya. Gian tidak ingin yang seperti itu!
Irjo sudah tahu sisi lemah itu.
***
Lelaki Hiking itu masih saja menjadikan kos Gian sebagai basecamp favorit selain UKM-nya. Irjo senang sekali menginap di kos Gian, meski lelaki Fotografi itu mengusirnya. Irjo tidak peduli. Dia senang sekali menempel pada Gian. Memeluk perut Gian ketika tidur, bahkan menyampirkan kakinya di pinggang Gian. Lelaki Hiking itu kurang ajar. Dia masih senang sekali membuat Gian emosi.
Ketika Irjo sudah menutup mata di sebelahnya, Gian bangkit. Jemari Irjo masih menarik lengan Gian, mencengkeramnya erat. Bahkan kalau Gian tidak salah, Irjo pernah mengikat pergelangan tangannya pada tangan Gian. Terikat sempurna dengan tali rafia. Gian tidak tahu bagaimana Irjo melakukannya.
Gian bangkit, lalu melangkah pelan ke arah jendela kamar kosnya. Udara dingin menyapa wajah lelaki Fotografi itu. Gian insomnia. Lelaki Fotografi itu memilih untuk duduk di dekat jendela, lalu memeluk lututnya sendiri. Matanya mengerjap beberapa kali. Orang tua bercerai. Adiknya yang tinggal dengan nenek. Lalu tanggung jawabnya sebagai ketua UKM Fotografi.
"Tidak bisa tidur?"
Mata Gian menoleh cepat. Irjo berdiri di belakangnya, lalu duduk tanpa izin di sebelah Gian. Gian malas berdebat dan mengusir lelaki sialan ini lagi.
"Bukan urusanmu."
"Gian..."
Gian bungkam.
"Kenapa kamu takut sekali bergantung pada orang lain?" Pertanyaan Irjo kali ini membuat Gian menoleh cepat. Mengerut. Dia tidak suka dengan pertanyaan itu. Gian benci ketika Irjo melihat sisi lemah ini.
"Tidak suka merepotkan."
Irjo menggeleng. Dia menatap mata Gian lembut. Perlahan jemarinya terulur, mengusap rambut Gian lembut. Irjo tidak tahu bagaimana Gian memandangnya selama ini. Gian menepiskan jemari lelaki Hiking itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
Ficção GeralIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...