The Band

1.6K 14 1
                                    

"Aku nembak Rene, Dhe," katanya. Suaranya terdengar memelan seakan ragu untuk mengatakan hal itu padaku.

Aku sudah tau apa jawaban Rene. Absolutely, Rene akan menolaknya. Oke, aku memang sudah bilang sebelumnya kalau mereka berdua hanya tinggal setengah milimeter lagi lalu mereka akan jadian. Tapi, Rene adalah orang yang memiliki pendirian not now, soal pacaran. Kalau didengar dari nada suara Defri, aku yakin, Rene menolak Defri.

"Terus?" tanyaku. Yah, bagaimana pun aku tadi hanya mengasumsi saja. Lagi pula aku ingin mendengar pasti dari Defri.

"Menurutmu?"

"Never know," jawabku.

"Aku ditolak," jawabnya. Exactly.

Aku bingung harus memberi respon apa, disisi lain aku bahagia, namun disisi lain aku kasihan. Aku yakin Defri menyatakan cinta ke Rene karena dia mendengar sugesti yang kuberikan.

"Ya udah lah. She needs time," kataku mencoba menyemangatinya. Sebenarnya yang aku inginkan adalah agar dia menyelesaikan segera pembicaraan. Semakin aku mendengarnya semakin aku terluka.

"Tapi, kalau kita jadi nggak temenan?"

"It's her decision. I can't do anything," kataku. Aku meraih jurnalku lalu mulai mengerjakan laporan praktikumku lagi. Aku mencoba membagi dua pikiranku. Mungkin ini akan efektif untuk tidak begitu memikirkannya.

"Dhe?"

"Aku lagi ngerjain laporan. Besok kerja sampe malam. Mending gini deh, kamu tenangin diri dulu sekarang. I'll talk to her. Gimana?" kataku. Aku tahu dia pasti akan datang ke rumah untuk curhat. Hal itu pasti bakal sangat menyebalkan karena aku bisa melihat dengan jelas ekspresinya.

"Thanks berat Dhe. Your the best," katanya.

"Ya, terserah," jawabku sok cool.

Setelah telpon terputus entah mengapa air mataku keluar begitu saja. Terserah lah, yang penting tidak membasahi laporanku.

****

Paginya mataku sudah sembab. Aku cuci muka berkali-kali pun, wajahku tidak tampak menjadi lebih segar. Apa lagi hari setelahnya aku membuka blog Rene. Seperti yang ku duga Rene sudah memosting kejadian bersama Defri. Dan seperti yang sudah ku duga, keputusannya tanpa alasan. Should I do something?

"Mbak Dhe kenapa?" tanya Arin.

"Habis diputus pacarnya tuh Ar," kata Orin sambil menyiapkan piring untuk sarapan.

"Heh, kurang ajar ya," kataku sambil menjitak kepala Orin.

"Oh ya, lupa. Pacar aja kan gak punya," tambahnya lagi disusul dengan tawa yang makin keras. Aku memukul kepalanya dengan laporan ku yang sudah ku jilid rapih.

"Makan!" kataku. Kemudian pagi itu pun kami lalui dengan saling mencela satu sama lain. Tapi yang lebih sering menjadi korbannya aku. Sial!

****

Aku berdiri di depan gedung planologi. Aku harus melakukannya. Demi sahabat. Aku kemudian menghembuskan nafasku, lalu mulai menelpon.

"Ren, aku di depan gedung plano," kataku.

****

Lima belas menit setelah aku menelpon Rene, kami berdua sekarang berada di sebuah warteg luar kampus. Aku dan dia selalu nongkrong di warteg. Maklum saja, kami berdua bukan orang yang berduit untuk makan di kafe. Beda halnya dengan Defri. Aku memang orang kere yang beruntung, karena kadang bisa membawa makanan dari kafe karena koki baik hati yang memasakkan makanan untukku dan adik-adik.

Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang