Part 1 SEORANG anak perempuan berusia sekitar dua belas tahun duduk bengong sendirian di ruang tunggu Bandar Udara Hasanuddin, Makassar. Di sekitarnya tergeletak dua tas besar dan sebuah tas kecil. Kelihatannya anak itu bosan duduk terus. Pengin rasanya dia jalan-jalan di sekitar ruang tunggu yang ramai siang ini. Tapi, dia ingat pesan mamanya; "Fika, kamu tunggu di sini dulu, ya? Jaga tas-tas kita dan jangan ke mana-mana. Mama mau ngurus tiket dulu." Itu pesan mamanya sejam yang lalu. Sampai sekarang mamanya belum juga balik. Fika mencoba mengalihkan pandangannya ke ruangan tempat tadi mamanya masuk, tapi dari tempat duduknya dia nggak bisa lihat ke dalam ruangan. Mama kok lama sih? batin Fika. Dalam hati dia mengutuk kekacauan administrasi maskapai penerbangan yang membawa dia dan mamanya dari Jayapura ke Jakarta. Ketidakberesan itu membuat mereka nggak dapet pesawat saat transit di Makassar, padahal seharusnya semua udah beres sampe Jakarta. Ketidakberesan itu juga yang menyebabkan mereka dan sebagian penumpang lainnya tertahan tanpa kepastian di ruang tunggu bandara selama tiga jam sampe saat ini dan menyebabkan mama Fika sibuk mondar-mandir ngurus tiket supaya mereka bisa terbang ke Jakarta. Bete duduk menunggu, Fika bermaksud jalan-jalan. Nggak jauh-jauh, di sekitar tempat duduknya saja, hingga dia masih bisa mengawasi barang bawaannya. Lagi pula ada stan koran dan majalah di ruang tunggu, nggak jauh dari tempat duduknya. Fika pengin membeli salah satu komik buat bacaan selama nunggu. Baru aja beberapa langkah dari tempat duduknya, seseorang menabrak Fika, membuat dirinya hampir terjatuh. Si penabrak malah jatuh beneran. "Kalo jalan yang bener dong!"
Fika melihat penabraknya yang terduduk di lantai sambil memegangi lutut yang kelihatannya agak lecet. Ternyata seorang anak perempuan yang sebaya dengannya, berambut pendek,
berjaket dan celana panjang, serta memanggul ransel. Dialah yang tadi langsung menyemprot Fika. "Punya mata nggak sih!?" Disemprot begitu tentu aja Fika bengong. Terang aja, yang nabrak siapa, kok malah dia yang marah-marah. Dua pria berbadan tegap dan berseragam loreng militer mendekati anak perempuan yang masih terduduk di lantai. "Dik Gya nggak apa-apa?" tanya salah seorang dari mereka sambil menolongnya berdiri. Sementara yang seorang lagi menatap Fika. "Dik, lain kali kalo jalan hati-hati ya," katanya pada Fika. "Tapi, Oom! Bukan saya yang nabrak..." "Ada apa, Fika?" Tau-tau Ira, mama Fika udah ada di dekat Fika. "Ma..." "Dia anak Ibu?" tanya pria yang tadi menegur Fika. Ira mengangguk.
"Dikasih tau ya, Bu, lain kali kalo jalan lihat-lihat, jadi nggak nabrak anak orang. Untung nggak apa-apa." "Maafkan anak saya ya, Mas. Kamu nggak apa-apa kan, Dik?" jawab Ira sambil menanyakan keadaan anak perempuan yang udah berdiri itu. Anak tersebut nggak menjawab. "Fika, kamu lain kali hati-hati. Mama kan udah bilang tetap duduk sampe Mama kembali." "Tapi, Ma, bukan Fika yang nabrak..." "Sudah. Jangan cari alasan!" "Ya sudah, Bu! Tapi, lain kali awasi anaknya, ya! Apalagi di sini ramai." "Iya, Mas. Sekali lagi saya minta maaf. Ayo, Fika!" Ira menggiring Fika kembali ke tempat duduknya. "Ma! Bukan Fika kok yang nabrak..." "Mama tau. Mama tadi juga liat kejadiannya dari jauh. Tapi, jangan cari masalah dengan orang-orang tadi. Masalah kita udah cukup banyak. Jangan ditambah lagi. Lagian kamu nggak papa, kan?" jawab Ira tenang. Tapi, walau begitu hati Fika masih dongkol karena kejadian tadi. Apalagi ternyata anak perempuan yang tadi menabraknya ternyata berada satu pesawat dengannya. Bahkan mereka duduk berdekatan, hanya dipisahkan lorong di kabin. Anak itu duduk diapit dua orang berseragam militer yang kelihatannya bertugas untuk melindunginya. Sesekali matanya melirik ke arah tempat duduk Fika.
*** Kota Taipei, Taiwan, lima tahun kemudian... Satu regu pasukan elite kepolisian Taiwan berada di lantai atas sebuah gedung perkantoran berlantai tujuh puluh. Mereka mengambil posisi siaga, seperti sedang mengejar sesuatu. "Di sini regu Delta! Tersangka terjebak berada di tangga menuju atap gedung! Segera kirim bantuan dari udara!" "Roger!" Pintu yang menghubungkan lantai teratas gedung dengan atap terbuka paksa. Seorang cewek berusia dua puluh tahunan keluar menuju atap gedung. Sekilas cewek itu sama kayak cewek biasa. Rambutnya lurus sebahu. Wajahnya yang masih terlihat kekanak-kanakan sangat cantik dengan kulit putih dan hidung mancung, perpaduan antara wajah Eropa dan Asia Timur. Cewek itu memakai kaus putih yang tertutup blazer krem, sama dengan warna celana panjang dan sepatu wanita berhak tinggi yang dipakainya. Sekilas dia kayak wanita yang biasa bekerja di kantor. Dia nggak membawa apa pun. Cewek itu mengamati keadaan sekelilingnya. Dua helikopter yang membawa pasukan elite kepolisian mendekat ke arah atap gedung. "Aku ada di atap gedung dengan dua regu pasukan polisi mendekat dengan helikopter. Mohon izin untuk mengambil tindakan!" kata si cewek, tangan kanannya memegang telinganya. Ternyata di lubang telinga kanannya terdapat alat komunikasi dua arah. "Negatif! Kau masih bisa kabur tanpa harus mengambil tindakan pada mereka! Lihat gedung di arah utara! Kau bisa meloncat ke sana."