Dia kembali menyelinap ke dalam mimpi-mimpi sederhana. Tenggelam dalam dunia antah-berantahnya. Semakin dalam, semakin gelap.
*
Orang itu, lagi-lagi muncul. Aku tak tahu namanya, bahkan mengenalnya pun tidak, sama sekali tidak. Hm, sebut saja Lelaki. Ya, aku yang memberi nama itu sendiri.
Kupikir aku sedang terjebak dalam dunia berdimensi tanpa batas. Semenjak beberapa minggu yang lalu, selalu kudapati Lelaki sedang memejamkan mata. Bukan, lebih tepatnya orang Lelaki sedang larut dalam permainannya. Jari-jemarinya terus menari dengan lincah di atas tuts piano. Entah piano jenis apa, aku tak begitu mengerti soal musik. Hanya sepertinya aku tahu komposisi yang sedang dimainkannya kali ini.
Fur Elise. Aku yakin tebakanku benar, karena aku sudah pernah mendengarnya. Ya, untuk kesekian kalinya Lelaki memainkan komposisi itu. Kupikir komposisi ini benar-benar tepat untuk raut wajahnya yang menurutku seperti sedang terluka. Atau sebaliknya. Entahlah, sejak pertama kali melihatnya, raut wajahnya selalu seperti itu.
Sudah kesekian kalinya aku selalu merasa tidak berani mendekatinya, dan berharap tidak lagi melihatnya. Tetapi, kurasakan sesuatu yang berbeda. Rasa ingin tahu yang kumiliki tiba-tiba bergelayut dipusat kendali pemikiranku. Membuatku beberapa langkah lebih dekat.
Lelaki?
Tak ada jawaban. Bahkan sama sekali Lelaki tidak menoleh. Terlalu asyik dalam dunianya sendiri. Tidak, tapi dia seperti sedang berduka. Komposisi itu tak pernah selesai dimainkannya, berulang kali, seperti tak ada rasa bosan dengan komposisi karya Beethoven itu.
Kugenggam bagian atas sandaran kursi yang secara tiba-tiba muncul di samping kiriku. Lalu kududukinya perlahan. Decitan itu terdengar pelan, aku mengira kursi ini sudah cukup tua usianya.
Hei. Kuulangi sekali lagi.
Sekali lagi. Tak ada jawaban. Dan semakin lama, aku semakin merasa gila. Aku seperti berbicara pada hologram berwujud Lelaki itu. Sampai sekarang aku belum berani menyentuhnya barang sekali.
Aku masih terus memperhatikannya. Namun Lelaki masih saja terfokus pada piano itu. Aku bahkan mulai merasa lelah sendiri, namun rasa ingin tahu yang membuatku tetap bertahan di sini. Dan aku mulai mengikuti melodinya. Aku juga mulai menikmati permainannya. Begitu kasar, menusuk, dan tepat mengenai sasaran. Kupejamkan mataku. Gelap, ya gelap dan tak ada satupun yang bisa kulihat kini. Hanya mengandalkan pendengaranku. Semakin cepat nada yang dimainkannya, dan kurasakan juga emosinya yang mulai menggebu-gebu dalam hati dan pikirannya.
Sejenak aku terlena. Temponya melambat dan semakin pelan suaranya. Kini tak lagi terdengar apa-apa, hingga aku tersadar dan kembali membuka kedua mataku.
Silau. Kurasakan cahaya itu membutakan mataku.
*
"Apa kau bahagia disana? Aku pun begitu, di sini." Ia tersenyum.
Miris. Bahkan tak ada yang diajaknya bicara selain patok yang tertanam di tanah itu.
*
Bukankah itu Lelaki lagi? Kenapa harus Lelaki lagi?
Kini bukan lagi piano yang menemaninya. Melainkan setangkai bunga mawar hitam yang berada di balik genggamannya. Langit-langit di atas pun berubah kelabu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi kali ini. Ketakutan sudah berhasil menguasai separuh jiwaku. Bermaksud untuk menguasai seluruhnya.
Lelaki. Aku mencoba memanggilnya.
Tak ada jawaban. Namun, Lelaki melihatku dan menghampiriku. Semakin mendekat. Dan.... Oh tidak, Lelaki tidak menghampiriku. Bahkan Lelaki hanya berlalu begitu saja. Kukira dia benar-benar hologram. Aku masih tak mengerti. Rasanya Lelaki hanya menembus tubuhku. Tak kurasakan sentuhan sedikitpun, ia bahkan tak menabrakku. Melewatiku begitu saja. Membuatku benar-benar kesal. Seakan-akan aku tidak ada di sini, atau mungkin sebaliknya. Entahlah, aku juga masih tidak mengerti.
Pandanganku mengikuti arah kemana Lelaki pergi. Bunga itu masih berada di genggamannya. Mengenai bunga, aku juga menyukai bunga. Jenis bunga yang tepat di genggaman Lelaki, itulah bunga kesukaanku. Bunga itu mengingatkanku pada seseorang yang masih tak kumengerti sampai saat ini, kenapa ia tak suka pada bunga.
Aku ingin sekali bunga itu. Namun aku masih ingat, kenapa sampai saat ini aku masih mengikutinya. Kata hatiku selalu memberiku perasaan yang tak karuan jika melihat Lelaki. Seperti tersimpan banyak teka-teki yang harus aku cari kuncinya untuk mengetahui semuanya. Ya, Lelaki kuncinya, tepat sesuai kata hatiku. Entah bagaimana aku bisa berkata seperti itu, tetapi firasat juga berkata demikian.
Thea.
Kupikir Lelaki benar-benar tak bisa berbicara. Tetapi kudengar sepatah kata itu keluar dari bibirnya yang tampak membeku, pucat. Sangat pelan. Suaranya tenggelam dalam sesuatu yang mungkin bisa dikatakan kesedihan yang amat dalam. Dan aku seperti pernah mendengar nama itu. Tetapi siapa itu aku juga tidak tahu. Ketika aku berusaha mengingatnya, aku tidak bisa. Kepalaku terasa sakit, seperti banyak duri-duri tajam yang menusuk hingga ke dalam otakku, Kupikir, aku juga tak ingat siapa namaku. Apa aku amnesia? Apa ini yang namanya amnesia?
Kini aku berada tak begitu jauh dari hadapannya. Dari sini aku bisa melihat sorot matanya yang dalam, kelam, menatap ke arah patok yang aku tidak tahu patok apa itu. Kudapati tumpukan bunga mawar hitam yang sudah layu di sekitar patok itu.
Sayang sekali. Hal pertama kali yang kuucapkan setelah melihat itu. Seakan-akan aku juga ikut merasakan kesedihan seperti yang dirasakan Lelaki.
Diletakkannya bunga itu di atas tumpukan bunga yang lain. Sejenak ia merenung, memejamkan matanya. Sepertinya ia sedang berdoa, atau mengharapkan sesuatu, atau... Entahlah. Tak lama kemudian kilatan bening itu menetes, membasahi kedua pipinya yang cukup tirus. Kedua matanya kembali terbuka. Bahkan aku tidak tahu kenapa. Jari-jemarinya manyelinap ke sela-sela rambutnya, membuat tatanannya menjadi berantakan, tak seindah sebelumnya. Ia terus mengacak-acak rambutnya berulang kali, dan aku masih tidak mengerti. Tak tahu apa yang harus kulakukan.
Tetesan air yang mengalir itu pun semakin deras. Tak kuduga, Lelaki tampak berbeda kali ini. Dandanannya yang serba hitam, termasuk anting yang kulihat di telinga kanannya, juga tak lupa akan bunga itu. Ya, mawar hitam. Aku terus bertanya-tanya. Membuatku tampak seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa tentang sekitarnya.
Waktu terasa begitu lama, namun juga cepat. Gemuruh terdengar cukup lantang, petir dimana-mana. Pertanda hujan akan turun. Namun, Lelaki masih terfokus pada patok dan tumpukan bunga itu.
Aku belum juga menemukan jawabannya.
Tiba-tiba, kilatan petir itu menyambarku. Tak kurasakan sakit apapun. Hanya saja semuanya menjadi hilang. Hanya warna putih yang menyelimuti sekelilingku.
Dimana aku?
*
Tangisannya terdengar pelan. Diletakkannya bunga mawar hitam di atas tumpukan bunga-bunga yang sudah layu lebih dulu. Perasaannya kacau. Ia masih mengingat semua kejadian yang sudah terjadi setahun yang lalu. Tepat di hari ini, ia kembali datang ke pemakaman. Mengunjungi mantan kekasihnya yang lebih dulu pergi.
"Aku tahu, kau tetap ada di dekatku." gumamnya, "Walau dalam mimpi."
Masih ada sekelebat bayangan yang selalu mengingatkannya pada gadis bernama Thea, di dalam mimpinya. Ia selalu hadir, namun ia merasakan ada yang berbeda dengan gadis itu di dalam mimpinya. Seolah-olah gadis itu tak pernah mengenalnya. Tetapi satu hal yang masih bisa ia percaya bahwa gadis yang berada dalam mimpinya benar-benar Thea. Gadis itu menyukai bunga mawar hitam.
"Aku tahu kau menyukainya, sama seperti kau menyukai ku. Iya kan?"
Bahkan di mimpi terakhirnya, gadis itu masih terlihat menyukai bunga mawar hitam itu.
***
Thanks buat yang udah baca short story ini. Udah aku edit juga, makasih sarannya heheh... ^.^
Asal kalian tahu ini cerita udah hampir lumutan jadi file di laptop, Nah mumpung ada wi-fi aku upload sekarang dah... kkkk~ *sesicurhat... :D
Ya pokoknya, jangan lupa vote dan comment ya... ^.^ big hug dari alifahkhz.... hahahahh!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Dream [Short Story]
Short Story[Short Story Challenge] Seorang gadis yang selalu memiliki mimpi yang sama setiap malamnya. Mimpi tentang seorang lelaki yang belum pernah ia temui atau kenal sebelumnya. Another Dream - @alifahkhz | Silly Kids. Please vote and comment. ^^ *Do not c...