<Adit POV>
Akhirnya pekerjaan yang melelahkan ini selesai juga. Gue emang jatuh cinta sama yang namanya musik. Tapi kalau diminta main 5 jam, itu sih namanya pembunuhan. Belum lagi mendengar request lagu-lagu mellow. Gue sebenernya nggak strict banget sih sama yang namanya genre musik. Gue juga suka kok sama musik mellow. Cuman, kalau harus mainin musik mellow mulu, kan bosen juga.
Gue dan teman-teman berjalan ke luar kafe. Di deket mobil Tio, gue ngelihat sepasang cowok cewek yang jadi perhatian dewi musik. Gue dan anggota band berjalan menuju mobil Tio. Yah, ngobrol sebentar sebelum kita harus cabut.
"Lo pulang sama Vindi aja gimana?" tanya Robi. Drummer aku.
Cih, dia ini sebenarnya naksir Vindi. Gue ngerti banget. Cuman Vindi keganjenan aja ngedekatin gue. Vindi itu awalnya naksir Tio, tapi setelah dia tau Tio itu udah tunangan dia akhirnya ngelirik gue. Alesannya karena gue juga nggak kalah tajir dibanding Tio. Nah, Robi ini sok ngejodohin gue sama Vindi. Dia juga tipe orang yang bermuka banyak.
"Gue ada acara dulu abis ini," kata gue dengan wajah dingin. Gue ngelihat pintu tempat pegawai keluar. Dewi musik itu nggak juga keluar.
Gue menghela nafas.
"Lo kenapa?" tanya Tio.Gue mengernyitkan dahi menanggapi pertanyaan Tio.
"Nggak seperti lo yang biasanya," katanya.
"Emang gue yang biasanya gimana?"
"Gak kayak gini. Lo gelisah banget. Kenapa sih?" tanya Tio. Dia emang sohib gue nomor satu deh. Tau bener gue kayak gimana.
"Nothing happen kok. Tenang aja," kataku.
Kami pun mulai ngobrol ngalor ngidul. Pandangan gue tertuju ke cowok yang tadi terus diliatin sama dewi musik.
"Dhe!" teriaknya sambil melambai. Gue mengalihkan pandangan menuju pintu khusus pegawai. Si dewi musik sudah berdiri di sana. Tatapannya dingin. Entah memang sikapya dingin, atau dia hanya berusaha menutupi dirinya yang sedang panas. Dia pun mulai berjalan mendekati cowok itu.
"Kenapa?" tanyanya dengan nada dingin. Hey, that's my style.
"Mobil aku mogok. Udah malem lagi. Kamu anter Rene pulang yah," kata cowok itu.
Cih, dia berlagak bersikap gentle. Aku melihat tanggapan si dewi musik. Berani taruhan dia bakal memasang tampang yang tidak sesuai hatinya.
"But don't ask anything for now," kata cewek yang satunya. Dari wajahnya sih, cewek itu memang lebih manis di bandingkan dengan dewi musik. Hmm, kalau soal wajah sih, sebenernya masih lebih oke Vindi. Hanya saja Vindi memiliki banyak wajah, bahkan dalam musiknya. Dewi musik ini hanya memiliki satu wajah saat bermain musik. Dia menjadi dirinya sendiri saat memainkan alat-alat musik.
"Terus kamu gimana? Udah nggak ada angkot jam segini," katanya. Selang beberapa detik kemudian dia nengok ke arah gue. Pandangan kami bertemu. Gue mencoba nyari tahu sebenarnya apa yang dirasain cewek ini sebenarnya. Dia tetap memandangin gue dan sepertinya merasa tidak nyaman.
"Dit," sapa Vindi. Akhirnya gue tersadar dari lamunan.
"Gue masih ada acara, duluan aja," kata gue kemudian masuk ke dalam kafe.
Bosan melihat keadaan yang isinya semua topeng. Lebih baik ke dalam kafe. Saat masuk ke dalam kafe, gue inget dewi musik masuk ke dalam dapur kafe di sela waktu istirahatnya. Gue pun memutuskan untuk masuk ke dalam kafe.
"Dhe, kok belum pulang?" tanya seorang koki sambil memotong-motong daging.
"Permisi paman," kataku. Koki itu pun menatap gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
Teen FictionSesungguhnya mencintai seorang penjahat kelas kakap sekali pun jauh lebih baik dari pada mencintai sahabat sendiri. Kau akan sadar betapa jahatnya seorang penjahat, dan kau akan sadar betapa sempurnanya sahabat. Sehingga, mencintai seorang sahabat a...