Lembaran Baru

347 21 4
                                    

Sesulit apapun kamu menghadapi kesedihan. Kesedihan itu pula yang akan menyembuhkannya.

...

Pria dengan setelan serba hitam berdiri dengan gagah di depan empat orang pemuda yang duduk dengan tenang."Jelaskan apa yang terjadi kemarin!"

Pemuda dengan rambut spike yang bernama Rakka Walker, memandang kearah pria itu dengan menunjukkan wajah tidak berdosa."Memangnya, apa yang terjadi?"

Pria itu, yang tak lain Mr.Dom, memandang cucunya geram. Anak itu! Bukannya menjelaskan malah balik bertanya."Tidak Sopan Rakka!"

"Bego Loe! Jadinya panjangkan."ucap pemuda dengan jaket baseballnya, yang bernama Calvin Walker. Rakka memandang tajam Calvin yang mengatainya Bego. Ia tersinggung toh.

"Sudah! Riel bangun. Jelaskan!"Pemuda dengan topi di kepalanya, yang sedang tidur pun langsung bangun ketika mendengar namanya.

"Kami bertengkar lagi."Singkat, padat dan jelas.

"Kalian bukan hanya bertengkar, tapi kalian juga saling pukul-memukul. Kakek sudah bilang kepada kalian. Jangan berkelahi lagi! Kalian adalah saudara. Sudah sepantasnya kalian akur. Bukannya malah berkelahi dan membuat kerusuhan!"

Pemuda dengan jaket hitam yang sedari tadi hanya diam pun, angkat bicara. Ia tidak suka berlama-lama bersama ke-tiga pemuda yang ada di ruangan ini."Kakek tidak perlu menyusahkan diri Kakek dengan mengurusi ini semua. Aku tahu, apa yang aku lakukan."Setelah mengucapkan itu, Rio beranjak dari duduknya dan pergi dari sana, tanpa pamit. Disusul oleh Riel, Rakka dan terakhir Calvin.

Melihat itu, Mr.Dom semakin kesal dengan tingkah cucu-cucunya yang abnormal. Ini tidak bisa terus dibiarkan. Dia harus segera memikirkan cara agar bisa membuat cucu-cucunya berubah. Setidaknya, tidak seburuk, sekarang.

...

"Ini bang uangnya, makasih."Setelah uangnya diterima oleh supir angkotnya, yang dibalas anggukan saja. Ify memulai langkahnya ke arah sekolah barunya, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya turun dari angkot.

Ify menghentikan langkahnya di depan sebuah gerbang sekolah yang terlihat masih sepi. Dia sekarang, memakai seragam putih abunya, dengan tas punggung berukuran sedang, tak lupa, sepatu compass hitam sederhananya.

Matanya tertuju pada tulisan besar, yang berada diatas gerbang tersebut. SMA Cendikiawan. Itulah tulisannya. Sekolah dengan sejuta prestasi di dalamnya. Sekolah yang hanya menampung siswa-siswi yang tentunya berprestasi dan memiliki kantong yang tebal.

Seleksi yang diadakan pun sangat ketat dan sulit. Tidak sedikit, banyak yang kecewa karena tidak lolos. Beruntungnya, Ify masuk sekolah ini melalui jalur undangan, yang hanya diberikan kepada siswa yang tidak diragukan lagi kejeniusannya. Jadi, selain dia tidak perlu mengikuti tes masuk yang jelas membuat stress, dia juga mendapatkan beasiswa yang membuatnya tidak perlu mengeluarkan uang sepersen pun. Keren kan?

"IFYY!!"

Satu kata saat dia mendengar teriakan itu. Menyebalkan. Lamunannya buyar seketika.
"Apa?"tanya Ify sambil menoleh malas.

"Tungguin gue,"jawab Silvya. nyengir sembari membenahkan tasnya."Kita ke kelas bareng."

Ify hanya melengos, saat tangan Silvya mengandeng tangannya. Mau bagaimanapun Ify harus sabar menghadapi tingkah sahabatnya, yang sedikit manja ini.

Silvya memilih meneruskan sekolah yang sama dengannya. Dengan usaha yang sangat keras tentunya. Karena persaingan sangat ketat, untuk masuk ke SMA Cendikiawan ini. Ia merasa, dirinya tak bisa jauh dari sahabat terbaiknya-Ify-. Sayangnya, mereka beda kelas.

Mereka berjalan dengan diiringi candaan ringan Silvya, Ify hanya menanggapinya sesekali. Ify bersyukur memiliki sahabat seperti Silvya yang menerima dia apa adanya dan selalu memahaminya. Setidaknya, dengan Silvya ia bisa merasakan bahwa dirinya tidak hanya sedirian, setelah apa yang menimpa kedua orang tuanya.

...

Ify mencatat apa yang tertera di papan tulis dengan cepat. Bel pulang telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Tidak membuat Ify berniat meninggalkan kelasnya, yang sudah tinggal beberapa orang saja.'Sebelum selesai menulis yang ada di papan tulis. Aku gak boleh pulang!'kukuhnya.

Puk

Ify menutup bukunya. Ia menghela nafas lega. "Akhirnya selesai juga!"lirihnya. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Lalu, duduk tegak lagi dan memasukkan buku serta alat tulisnya ke tas punggungnya.

Haus. Ia mengambil air botol yang ada di kantung kecil tasnya, yang ia beli saat istirahat kedua tadi. Lalu, meneguknya dengan perlahan. Setelah minum, ia pun menyimpan botol airnya kembali dan beranjak keluar dari kelasnya.

Ify tidak berniat akan langsung pulang. Tujuannya adalah perpustakaan. Ia ingin membuat kartu anggota perpus, hari ini juga! Agar ia bisa leluasa meminjam buku perpus yang ia butuhkan. Sedangkan Silvya, pulang duluan, karena ada keluarganya yang di luar kota mengunjungi rumahnya. Sehingga tidak bisa menemaninya.

Ify membuka pintu perpustakaan dengan pelan. Ify memandang takjub pada pemandangan di depannya. Ruangan yang luas dengan rak-rak berjejer rapi yang dipenuhi buku-buku serta meja dan kursi yang ditata rapi. Sungguh! Surga bagi Ify yang pecinta buku jenis apapun!

Ets, bukan berarti Ify seorang yang kutu buku. Ia malah jarang membaca buku kalau tidak perlu. Palingan, kalau dia tertarik atau untuk mengulang materi. Ia tidak suka membaca buku yang jelas bahwa ia pernah membaca dan mengetahui isinya.

Ify menghampiri meja yang terdapat seorang guru yang duduk dengan tenang sambil membaca buku.

"Permisi, Pak!"

Guru itu mengalihkan pandangannya kearah Ify."Ada apa?"

"Saya ingin membuat kartu keanggotaan perpus pak!"ucap Ify to the point.

"Oh, kamu murid baru? Tunggu sebentar...,"Ify mengangguk. Guru itu pun mengotak-atik komputer yang di depannya."Sebutkan Biodatamu! Siapa namamu?"tanyanya. Ify pun mengucapkan biodatanya kepada guru tersebut yang sekarang Ify ketahui namanya Pak Wiro.

Kartunya pun jadi sekitar 15 menit. Ify tersenyum menerimanya serta mengucapkan pada Pak Wiro.

...

Ify terus-menerus memandangi kartu perpustakaan yang baru saja dimilikinya, dengan senyuman yang tidak pernah hilang. Ia sudah membuat rencana apa yang akan dilakukannya dengan kartu itu.

Tank

Suara peraduan besi dan semen mengema di telinga Ify. Membuatnya harus mendongak, melihat ke arah, asal suara tersebut.

Tongkat baseball memanjang, menghalangi akses jalannya. Mata hitam kelam memandangnya dengan tajam seakan ingin membunuh lawan matanya dengan perlahan.

Ify memandang tidak suka ke arah Pemilik mata hitam kelam itu. Ia sangat tidak suka, jika ada yang menghalangi jalannya."Ada apa?"tanyanya, berusaha mengontrol emosinya.

"Ngapain lo lewat sini?"

Hell! Memangnya kenapa kalau Ify lewat jalan ini. Toh, gak ada larangan tertulis dari pemerintah. Ini juga, bukan jalan milik nenek moyangnya.

"Suka-suka gue lah."Malas. Ify malas banget ngeladenin orang kayak gini. Penampilannya urakan, dengan baju keluar dari celananya dan dasi yang entah kemana.

Pemuda itu berdiri angkuh dengan menyeringai setelah mendengar perkataan Ify."Berani juga. Lo lihat apa yang ada di depan sana!"Pemuda itu memurunkan tongkat baseballnya dan mengeser tubuhnya.

Ify sedikit terkejut melihat di depan sana, sekitar setengah kilo meter dari posisinya. Banyak sekali siswa dengan logo seragam yang berbeda tengah berkelahi dengan sadisnya. Ada yang membawa alat dan ada yang dengan tangan kosong.

"Sekarang lo mau tetap lewat sana?"

Your PresenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang