Bagian XI : Debaran Yang Sama

1.7K 227 32
                                    

.
.
.

Yuki-lah yang pertama kali tergeragap saat menyadari obsidian milik pemuda baby face itu tengah menatapnya. Bukan tatapan yang mengandung banyak maksud terselubung. Bukan pula tatapan yang menunjukkan kemarahan. Tatapan itu begitu teduh dan sejuk seolah dirinya tengah menatap sumber mata air.

"Aku nggak akan biarin kamu mati."

Entah mengapa Yuki merasa ketulusan yang sarat dalam ucapan itu. Lagipula, setelah semua yang dokter muda itu lakukan padanya, bukankah memang Kim telah menyelamatkan nyawanya dari ambang kematian?

Yuki tidak bisa berhenti bergidik ngeri dengan kenekatannya di masa lalu. Melakukan upaya bunuh diri dengan menenggak cairan kimia keras yang digunakan untuk obat pembersih lantai. Hingga hari ini pun gadis itu masih dapat mengingat jelas bagaimana sakit dan tersiksanya tubuhnya di hari itu, bahkan hingga sekarang.

Tapi yang paling menyakitkan adalah luka di hatinya yang seolah tak mau menutup dan melupa. Semakin dia mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di belakang, semakin menggarami luka yang dia rasakan.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Kim lembut padanya.

"Bu- bukan apa-apa. Hanya sebuah pikiran selintas." Jawab gadis itu sedikit kaku. Kemudian Yuki membuang tatapannya jauh ke salah satu curug tempat air terjun yang mengalir lumayan deras. Berharap dengan melihat aliran airnya, dirinya bisa ikut menenggelamkan kenangan pahitnya di sana.

"Bagaimana kau bisa tahu tempat seindah ini?" Akhirnya Yuki kembali membuka suara. Berusaha mencairkan ketegangan di antara mereka yang sempat terasa.

"Tempat ini selalu menjadi tempatku untuk lari dari kenyataan. Memandang tempat ini... bisa membuatku melupakan hal yang memang seharusnya sudah kulupakan." Jawab Kim sambil menerawang jauh.

Dan saat Kim mengembalikan tatapanya, sekali lagi, obsidian miliknya kembali bertemu dengan hazel gadis itu.

"Aku terlahir sebagai putra bungsu dalam keluarga. Aku memiliki seorang kakak perempuan. Namanya Aki Kurniawan." Kim menerangkan dan Yuki tampak mendengarkan dengan seksama.

"Ayahku bercerai dengan Ibuku. Awalnya hak asuh jatuh ke tangan Ibu. Tapi Ibu menikah lagi dan suami baru Ibu selalu memiliki alasan untuk memukuli kami. Puncaknya, suami Ibu... memperkosa kakakku. Dan tak ada yang bisa kulakukan saat itu. Padahal aku melihat segalanya."

Untuk pertama kalinya sejak perkenalan mereka, Yuki melihat mendung kelam yang seolah menyelimuti wajah dokter muda itu.

"Kejadian itu puncaknya. Akhirnya kami berdua lari dan kembali ke rumah Ayah. Hingga saat ini." Pemuda baby face itu menyunggingkan sebuah senyum letih yang terlihat dipaksakan.

"Apa... Ayah dan Ibu kalian tahu soal..." belum sempat Yuki menyelesaikan kalimatnya, Kim sudah menggeleng pelan seolah memberi jawaban.

"Tidak. Kak Aki melarangku menceritakan soal perkosaan itu."

"Dan kakakmu? Bagaimana keadaannya?"

"Buruk. Sangat buruk. Beberapa kali percobaan bunuh diri. Dan sekarang dia ketergantungan minuman beralcohol."

"Kau pasti sangat khawatir dengan keadaan kakakmu..." ujar Yuki penuh simpati.

"Tapi dia wanita yang sangat tegar. Dia tidak akan menunjukkan airmatanya pada oranglain. Termasuk penderitaannya." Ucap Kim. Yuki mengangguk perlahan.

"Tempat ini selalu menjadi pelarianku. Perasaan menyesal tidak bisa melindungi kakakku saat itu, perasaan bersalah karena menutupi kejadian besar itu dari Ayah dan Ibu selalu menggelayutiku. Dan aku selalu kemari. Berharap dosa-dosaku di masalalu bisa terhanyut oleh aliran air. Meski aku tau itu tidak mungkin..."

A Gift From GOD ( AL/YUKI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang