<Auhor POV>
Sebenarnya aku bukan ahli musik dan tahu banyak musik. Untuk cerita kali ini aku harus cari musik yang sesuai. Akhirnya aku temukan lagu Dream Theater ini. Recommended banget buat didengar-maksa-. Well, happy reading.
****
<Dhe POV>
Aku tidak berharap apa pun untuk hari ini. Aku tidak ingin berharap hariku spesial. Karena kemungkinan terjadi hal-hal menyebalkan dalam hidupku sangat besar saat aku berharap. Aku memulai dengan langkah gontai menuju ruang dosen.
Plak!
Seseorang memukul kepalaku dari belakang. Aku menengok ke arah seorang yang memukulku sambil mengelus kepalaku yang sakit. Oh, Defri rupanya. Aku lagi sangat tidak bergairah menanggapinya hari ini.
"Lesu banget!" katanya. Aku berlalu tanpa memerdulikan apa yang dia bilang.
Hari ini aku lagi tidak ingin menemuinya. Aku ingin membangun moodku dari sekarang sebelum bertemu dosen pembimbing karya ilmiahku. Aku ingin membangun moodku dari sekarang sebelum lembur sampai malam dan harus bertemu Adit di kafe. Huff, hari ini akan berat.
"Masih marah?" tanyanya kemudian menggandeng tanganku. Aku berjalan mengikuti kecepatan langkahnya.
"Kau kenapa? Lepasin! Aku lagi malas lari-lari!" kataku sedikit membentak.
Dia akhirnya melepaskan tangannya dari tanganku. Aku melihat ke arah tatapannya. Rene sedang melihat kami bergandengan. Good, it's a crumble day from the beginning.
"Sana. Jangan sampe dia salah paham," kataku dengan nada malas dan masih berjalan gontai menuju kelas.
Dia masih berdiri di belakangku-sepertinya-bingung memilih antara aku dan Rene. Dhea bodoh! Buat apa memikirkan orang itu lagi. Dia pasti lebih memilih Rene. Huff. Could I get a peaceful day for once?
Tiba-tiba saja dia menggandeng tanganku lagi kemudian memaksaku berjalan sedikit lebih cepat.
"Hei!" bentakku.
"Apa sih teriak-teriak. Dasar kuda nil!" katanya dengan nada riang.
Dia itu sarap atau stres sih? Bisa-bisanya dia riang gembira hari ini, padahal tadi malam kita habis bertengkar. Dia lahir dari belahan bumi mana sih?
"Rene tuh. Entar dia ngambek sama aku," kataku mencoba melepaskan genggaman Defri. Tapi dia menggenggam begitu erat.
"Entar aja aku ngomong sama dia. Lagian kelas kita bentar lagi mulai," katanya kemudian menarikku lebih cepat menuju kelas.
Terserahlah. Aku sudah berserah diri kepadaNya untuk apa pun yang akan terjadi di hari ini.
****
"Def?"
"Ya," jawabnya sambil dengan mesam-mesem nggak jelas.
"Aku tahu kamu segitu merhatiin aku sebagai temenmu," kataku sambil mengelus dadaku.
"Ya," jawabnya sambil tetap mesam-mesem nggak jelas.
"Aku tahu kamu mau bilang sama seantero angkatan jurusan kita kalau kita itu teman baik," kataku lagi.
"Ya."
"Tapi nggak gini caranya TIKUS TANAH!" teriakku kepadanya.
Huh! Dia sangat aneh saat ini. Gara-gara dia aku dikeluarkan dari kelas. Bukan kelasku sebenarnya. Hari ini harusnya aku tidak ada kelas. Namun entah dia kerasukan roh apa, dia malah menarikku ke kelas anak matematika. Buat apa?! Apa lagi dia tidak berhenti bersikap heboh karena heran kenapa mata kuliahnya beda. Yang bodoh itu dia atau aku karena maunya aja ditarik-tarik dia? Huff, it's totally full of damage day.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
Teen FictionSesungguhnya mencintai seorang penjahat kelas kakap sekali pun jauh lebih baik dari pada mencintai sahabat sendiri. Kau akan sadar betapa jahatnya seorang penjahat, dan kau akan sadar betapa sempurnanya sahabat. Sehingga, mencintai seorang sahabat a...