Dibawah hujan ia berjongkok sambil memegang lutut, pasrah tubuhnya akan terserang literan air dari awan kelabu dan tak peduli dengan sensasi dingin luar biasa setelahnya. Sepatu kets Nike Air berwarna putih tercoreng lumpur kubangan, akibat berlari terlalu kencang. Ketika ia melihat rintik kecil turun ke bumi, pikirannya melayang, menjelajah memori masa lalunya akan hujan. Ia memfavoritkan hujan dan segala yang terjadi saat hujan.
Baginya, hujan menggambarkan segalanya. Tetesan airnya memberikan ketenangan, hujan derasnya menyamarkan air mata, bila ada petir saat hujan deras turun ia menafsirkannya sebagai kepedihan batin yang tak bisa tercapai. Ya, petir yang turun jarang sekali bisa menyentuh bumi walaupun kilat cahayanya sangat cepat, kalaupun bisa menyentuh bumi atau mengenai makhluk hidup didalamnya mereka pasti akan terluka, merasa takut, dan terlonjak kaget. Saat ini hujan turun dengan derasnya dan persis seperti apa yang ia gambarkan, hujan deras menyamarkan air matanya. Memikirkan sesuatu dengan berat memang tidak boleh dilakukan Jihyo, ia memiliki penyakit yang mengharuskannya menjadi special diantara orang-orang disekitarnya.
Tidak mudah menjadi special, membuatnya menjadi bahan cibiran dan ia harus membiasakannya.
Seketika pikirannya lepas, melambung tinggi memikirkan bagaimana hidupnya di masa mendatang. Apakah ia harus tetap menjadi yang special atau ia bisa bergabung dengan lingkungan sekitarnya tanpa cibiran itu lagi? Apakah saat ia lepas dari masa sekolahnya ia masih bisa berada dalam pelukan hangat ibunya? Apa ayahnya akan selalu memberikan kasihnya? Mungkin saja ia melewatkan semua itu. Melewatkan umur mudanya dengan checkup ke dokter, melaluinya dengan cercaan dan celaan, dengan para pendonor yang ia kenal. Semasa hidupnya, bisa jadi ia akan selalu terikat dengan kejadian tersebut. Tidak jarang Jihyo memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa kuat, agar ia bisa kembali merasakan bagaimana menjadi normal.
Ia bisa memikirkan itu berhari-hari hingga ia tubuhnya harus terlentang tertutup selimut di kasur. Merasakan sunyi yang setia menemani. Hanya detik jarum yang dapat ia dengar, membuatnya insomnia dan berpikir bahwa ia sebentar lagi akan gila. Ia pikir, tidak apa jika mati muda karena setiap manusia pasti akan remaja selamanya di surga. Ia berpikir ia mulai gila lagi. Kutipan yang dibuatnya terlihat lemah, terlihat pasrah, cengeng dan tidak punya semangat untuk hidup. Lagipula apalagi yang bisa ia buat dengan kutipan? Jihyo tidak mahir dalam sastra, khususnya perbendaharaan kata. Ia tidak pandai membuat kiasan, ia tidak tahu apa kiasan untuk kalimat 'Terimakasih semuanya, aku akan segera pergi, entah itu ke surga atau neraka yang pasti selalu kirimi aku do'a dan cinta kalian!'. Sejujurnya, Jihyo sendiri berpikir kalimat tadi terlalu seram untuk dijadikan sebagai ucapan terakhir sebelum ia benar-benar tidak bernyawa.
Setiap kali ia selesai menitikan air mata dibawah hujan, ia selalu memotivasi dirinya sendiri walaupun pada akhirnya ia tahu ia akan jatuh memeluk lututnya lagi dengan derai air mata di pipi. Jihyo berpikir, 'Aku harus mati rasa selamanya' dan ia pikir mentalnya menjadi kuat dan tidak akan roboh ditembus perasaan bersalahnya akan masa depan yang bisa saja hilang walaupun sebenarnya itu bukan kesalahan yang ia buat. Jihyo berdiri beberapa menit setelah hujan reda. Dingin sudah biasa menyerangnya, jari-jari tangan Jihyo yang telanjang menggigil terkena angin, ia akan pulang secara diam-diam dan duduk dikamarnya menikmati Lipton dengan aroma chamomile sendirian. Jihyo tidak pernah menyalahkan orangtuanya yang bekerja keras untuk pengobatan dirinya, lagi-lagi benaknya membuat Jihyo merasabersalah namun tidak ada cara lain untuk membalas kerja keras orangtuanya selain tetap bertahan hidup dan bahagia dihadapan mereka. Terasa percuma jika Jihyo hanya mementingkan egonya untuk meninggalkan dunia, ia menyadari itu.
Sebungkus obat pereda demam dilahap Jihyo dan turun ke alat pencernaannya bersama air mineral hangat yang ia ambil dari dapur. Seakan terasa berat, ia mengayunkan kakinya dengan begitu lambat. Bunyi gelas yang ditaruh diatas meja hampir tidak terdengar. Pikirannya masih menjelajah. Ia tahu ia harus berhenti melakukan itu atau jika ia melakukannya lebih lama bisa jadi ia akan berakhir di instalasi gawat darurat rumah sakit, tersadar dengan dunia yang terasa berputar dan selang infus yang menancap di punggung tangannya. Sudah biasa jika ia seperti itu namun tetap saja, membuka mata melihat langit-langit rumah sakit dengan mata berkunang-kunang sangat dibencinya. Selang infus yang menempel di punggung tangannya menorehkan kesekian bekas yang menetap. Tak apa jika ia hidup dengan bekas jarum infus yang menghiasi punggung tangannya. Ia pernah berjuang dan tangannya menuliskan sejarah dengan menjadi saksi bisu.
Elektro kardiograf terdengar memasuki ruangan, ia tahu ini adalah saat dimana ia harus bertahan yang sesungguhnya, mempertahankan nyawa untuk orang terkasih yang menunggunya diluar ruangan. Detak jantungnya tidak seirama dengan pola napas/nafas yang ia hirup dan keluarkan. Dunia terasa berputar membentuk badai disertai petir dan hujan deras, seakan ingin menenggelamkannya kedalam pusaran kehidupan dan hilang ditelan bumi. Jihyo bertahan. Mengerahkan segala daya yang ia punya hanya untuk membayar apa yang telah ia perbuat pada orangtuanya. Menjadi anak tunggal disertai dengan penyakit Von Willebrand Disease, membuatnya dewasa dengan cepat.
Jihyo tetap bertahan. Ia mengambil napas/nafas dengan cepat agar seirama dengan detak jantungnya. Oksigen yang dipasangkan tidak terlalu membantunya dalam menghirup udara. Ia harus membuat caranya sendiri, demi orangtuanya. Tubuh Jihyo bergetar, ia kejang dengan penglihatan yang kabur, kepala berat, napas/nafas dan detak yang tidak teratur. Jihyo masih bertahan. Dokter jaga memberi aba-aba untuk menyiapkan alat kejut, 'Semoga ini akan membantu' harap Jihyo. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia kini berharap alat-alat yang memenuhi ruangan ini, alat-alat yang menempel ditubuhnya akan membuat ia bahagia dalam menjalani hidup kedepan. Ia membayangkan raut wajah bahagia yang ditunjukkan orangtuanya saat ia lulus SMA dan memasuki perguruan tinggi yang sedari dulu Jihyo tuju. Jihyo berkeinginan mengambil jurusan psikologi agar ia bisa sekaligus melakukan terapi pada mentalnya, pada pikirannya, pada pola hidupnya. Ia bisa membayangkan betapa bangga kedua orangtuanya saat foto wisuda nanti, melihat anaknya menjadi doktor psikologi dengan hasil kelulusan cumlaude akan membayar semua kerja keras yang dilakukan orangtua Jihyo untuk dirinya. Betapa indah masa tersebut untuk dilalui. Namun Jihyo berpikir lagi, apakah ia bisa bertahan sampai saat itu?
Jihyo tetap bertahan. Sedetik kemudian, tubuhnya tidak menunjukkan tanda vital bahwa ia masih memikirkan cita-citanya untuk membuat bangga orangtua. Tubuhnya kembali diam, ia tidak mengejang lagi. Matanya tertutup, seakan ia lelah setelah bertahan. Detak jantung dan bunyi napas/nafasnya ditutupi keheningan dokter dan staff. Garis panjang dan bunyi nyaring muncul pada layar elektrokardiograf. Jihyo akan bertahan, ia akan bertahan semampu yang ia bisa dan jika ia kehilangan kekuatannya untuk bertahan, maka ia akan bertahan dengan bahagia di surga, bahagia dalam damai disana.
°
a/n: tbh, idk what I just write. It just happen and bam! Agak gloomy mungkin? I know ini genre sad yang perlu dipahami beberapa kali dan perlu dihayati karena banyak perasaan lonely, hopeless, dan yah terlalu banyak beban yang dirasa gitu, maaf kalau nggak dapet feel sad nya ya huhuhuhhu. Anyway, still, I'm trying to be a good author.