2. Meja Nomer 7

75 6 0
                                    

*Nessa POV*

Letaknya di bagian luar kafe. Tepatnya, bersebelahan dengan meja kasir, di mana aku sering duduk sambil mengawasi pelanggan saat kafe sedang senggang. Tak jarang aku turun tangan melayani tiap pelanggan yang datang. Boleh di kata, aku ini boss, pelayan, juga merangkap chef.

Memasak itu bagian dari hidupku. Meski dulu aku tidak mendalami pendidikan kuliner, tapi aku paham, bahwa aku terpanggil untuk terjun ke bidang ini. Meneruskan apa yang dirintis Ayah, hingga menjadi seperti ini.

Sebuah kafe kecil yang menjanjikan makan enak, harga ramah di kantong, serta tempat nyaman buat nongkrong. Ness cafe.

Itu bukan merek kopi. Tapi memang diambil dari namaku. Nessa.

Salah satu hal yang membuatku berani meneruskan usaha Ayah adalah sugesti dari mama. Mama pernah bilang bahwa lezat dan tidaknya suatu masakan, ditentukan oleh tangan juru masaknya. Walau bumbu yang di pakai sama, rasa masakan bisa berbeda.

Ada seseorang yang terlahir dengan bakat memasak. Apapun masakannya, selama tangan orang tersebuat yang mengolah, maka akan menggugah selera. Dan menurut Mama, aku terlahir dengan bakat itu.

Aku boleh bangga karna hal itu. Meski kadang, tangan ini acap kali jadi korban keganasan pisau, minyak panas, juga aroma bawang yang tak kunjung hilang, biarpun sudah dicuci dengan sabun.

Kembali lagi ke soal meja nomer 7. Ada yang menarik di meja itu beberapa malam ini.

Cowok berwajah oriental, yang sering datang menjelang kafe tutup. Dia selalu memilih duduk di meja itu. Seperti suatu keharusan. Bahkan ketika ada pelanggan lain yang datang terlebih dulu, dia rela nunggu di samping sepeda gunung warna putih yang menjadi alat transportasinya, sambil bermain ponsel.

Sebenarnya, cowok oriental itu sungguh jauh dari kriteriaku. Bukannya rasis, ini hanya masalah selera. Pernah sekali kutolak teman SMP ku, hanya karna dia oriental, pake kawat gigi pula. Tapi yang satu ini, seakan suatu pengecualian!

Aku tahu, dilihat dari penampilan dia anak kuliahan. Kalo dilihat dari wajah sih, paling beda dua tahunan sama aku. Tapi sejak kapan aku jadi suka 'daun muda'? Lagi kukatakan, ini pengecualian.

Malam ini kafe agak sepi. Widi, pegawai kepercayaanku, sudah terlihat sangat ngantuk. Hanya ada 2 pelanggan yang duduk di satu meja di bagian dalam kafe. Mereka masih terlihat asik ngobrol, meski sudah selesai makan dan bayar. Aku gak mungkin mengusir mereka. Lagi pula, ini memang belum jam tutup.

Ada yang lebih penting dari sekedar menunggu pelanggan itu pulang, yang membuat aku malas nutup kafe meski sepi. Apalagi kalo bukan karena si cowok berwajah oriental itu yang belum juga datang!

Ups, umur panjang tuh cowok! Baru juga diomongin, eh dia muncul.

Tapi tunggu! Kenapa mukanya lesu gitu?

Yap. Betul banget kan. Meja nomer 7!

Aku diam mengawasi, ketika Widi datang mendekati dia, buat taking order.

"Yang biasa aja, Mbak. Nasi goreng sosis. Porsi satu setengah ya. Minum es Jeruk."

Aku dengar dia ngomong ke Widi. Kali ini tak pakai banyak senyum. Sudah gitu, selesai pesan, dia langsung menaruh kepala di atas meja. Kalau begini aku jadi gak bisa ngelihat muka gantengnya. Iiisshh....

Oh ya, soal pesanannya itu. Dari pertama dia makan di sini, selalu saja nasi goreng sosis. Sampai aku penasaran, nih cowok doyan ama sosis, atau emang dia tidak mau mencoba yang lain?

Lama-lama pingin ngerjain juga nih.

Kudatangi Widi di dapur, lalu kucegah dia menyuruh Anton untuk memasak pesanan  cowok itu.

Brogan Kesayangan NunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang