Aku menatap Tuan Ali yang masih sibuk mengobati lukaku dengan alat alat didalam kotak P3K. Aku tersenyum malu, inikah yang dinamakan 'perhatian'? Ternyata seorang majikan kampret seperti Tuan Ali bisa bersikap perhatian juga ya dengan pembantunya sendiri. Perubahan yang cukup bagus 👏. Setelah selesai membalut luka ku dengan handsaplast, Tuan Ali menutup kotak P3K, dan menatapku tajam.
"Lain kali hati hati!" Salahku apa Tuhan setiap detik dimarahi olehnya? Aku ingin membacoknya sekarang juga!
"Iya Tuan, maaf." Tuan Ali berdiri dari jongkoknya, lalu memunguti beling yang masih tersisa dilantai. Ah, aku merasa seperti majikannya 😏. Tapi aku juga tidak enak, bagaimanapun dia adalah majikanku. Seharusnya akulah yang membereskan itu semua, bukan Tuan Ali.
"Tuan, biar saya aja." Pintaku merebut beling terakhir yang dipungut Tuan Ali. Bukannya memberikan, Tuan Ali malah menarik belingnya, hingga benda tajam itu melukai telapak tangannya.
Bodohnya kau ini, Pril. Bersiaplah menerima tatapan tajam darinya dan omelan mautnya yang selalu membuat telingaku sakit.
"Mending sekarang lo kekamar, Jangan kerja hari ini!" Seperti biasa, dia membentakku. Kapan pria ini berubah? Tunggu kiamat kah? Sampai kapanpun tidak ada satupun perempuan yang mampu membuatnya berubah. Kalau saja ada, aku akan bertepuk tangan lalu loncat dari menara eiffel! Pegang janjiku itu.
Aku pun pergi kekamar meninggalkan Tuan Ali yang sibuk memunguti beling. Tanpa sadar hatiku menghangat. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan saat ini. Sesuatu... yang membuatku... bahagia? Tidak. Sampai kapanpun Tuan Ali hanyalah faktor kesedihanku. Aku harap dia bukan jodohku, AMIN!
***
Tok tok tok
"Ya, masuk." Seorang perempuan berpakaian putih hitam khas seragam pembantu masuk dengan senyum manisnya. Aku membalas senyumnya, "Kenapa Tar?" Tanyaku memulai pembicaraan.
"Lo dicariin Tuan Ali." Ucapnya masih senyam senyum. Aku mengernyit, ada apa dengan anak ini?
"Kamu kenapa senyam senyum sih?" Tanyaku heran. Dia menggeleng, masih mempertahankan senyum gajenya.
"Tuan Ali manggil lo, Pril." Ucapnya lagi.
"Kamu gak bohong sama aku kan Tar?" Tanyaku curiga. Tara melunturkan senyumnya, berganti dengan gelengan dan kernyitan bingung.
"Gue gak bohong Pril. Katanya, lo disuruh pake baju ini, terus tunggu diruang tamu." Tara menunjukkan sebuah gaun putih, membuatku makin bingung.
"Aku gak percaya sama kamu. Tadi pagi kamu bilang Tuan Ali manggil aku, buktinya dia malah ngusir aku tadi." Aku mengingat kejadian di kamar Tuan Ali tadi. Ah, memalukan sekali.
"Kalo gue bohong sama lo, ini baju darimana? Seumur umur gue gak mampu beli baju ini!" Tara beroceh sebal. Aku terkekeh melihat wajahnya yang geram.
"Yaudah sini." Aku meminta gaun yang dipegang Tara. Tara pun berjalan menghampiriku, dan memberikan setelan gaun putih itu.
"Gue keluar ya Pril. Jangan lama lama. Nanti si macan tutul lo itu marahin gue lagi." Aku terkikik mendengar celotehan Tara.
"Maklumin lah Tar. Majikan kita kan emang gitu orangnya." Ucapku tersenyum geli.
"Majikan kita? Majikan gue woy. Sebentar lagi lo kan jadi CALON NYONYA SYARIEF alias CALON MAJIKAN gue." Senyumku langsung melebar malu ketika mendengar perkataan Tara. Yaampun, itu adalah mimpi terbesar Deasy, dan pembantu muda lainnya disini, kecuali AKU! dan Tara. Yap, Tara sudah memiliki kekasih, tapi aku heran, untuk apa Tara bekerja sementara kekasihnya itu orang kaya? Sudahlah lupakan Tara.
"Apaan si Tar. Ngimpi. Aku gamau jadi nyonya Syarief. Ga sudi!" Celutukku lalu bergidik geli. Saat aku ingin memandang ekspresi Tara, mataku malah tertuju pada seorang pria berdiri diambang pintu kamarku dengan tatapan tajamnya. Dan tatapan tajamnya itu mengarah kearahku!
Aku menelan ludah susah payah. Tatapan itu benar benar membuat sekujur tubuhku merinding, bahkan telingaku seperti tuli, padahal mulut Tara berkomat kamit entah berbicara apa. Sudah kubilang, telingaku terasa tuli!
"Pril? Hei!" Tara menepuk bahuku membuat telingaku langsung berangsur normal. Aku beralih menatap Tara, lalu memberikan kode untuk menengok. Awalnya Tara tidak mengerti apa maksudku, beruntung Tara cepat tanggap. Jadi dia langsung menoleh dan bisa kulihat raut wajahnya tegang seketika. Ah, ekspresinya sama sepertiku. Apakah dia juga merasakan tuli? Kuharap sih iya, agar dia bisa merasakan apa yang aku rasakan, HAHA!
"Maaf Tuan." Kudengar Tara meminta maaf, lalu meninggalkanku... berdua dengan tuan Ali?!
Kini aku dan Tuan Ali hanya saling tatap. Siapapun tolonglah aku dari situasi yang paling kubenci ini. Kenapa Tuan Ali tidak menatap Tara saja? Ah nasip orang cantik kayak gini nih.
"Gue tunggu diluar." 3 kata 15 huruf itu membuat suasana menegangkan itu mencair. Aku mengangguk ketika alis Tuan Ali terangkat menunggu responku. Aku pun segera berlari kekamar mandi, lalu mengganti pakaian seragam pembantuku dengan gaun putih yang diberikan Tar... ah ralat, maksudku yang diberikan Tuan Ali.
Belum sampai 5 menit, akhirnya tubuhku sudah dibaluti gaun putih selutut. Aku memandang diriku dicermin. Ini adalah kali pertamanya aku memakai gaun mahal. Sebelum sebelumnya aku hanya memakai baju kuno zaman dulu, karena aku tidak terlalu up to the date saat keluargaku berkelimpahan harta. Ya, aku memang berasal dari mantan orang kaya. Tapi seiring waktu berjalan, nasibku sudah berubah menjadi gadis mungil yang tidak punya apa apa.
Sudahlah abaikan. Lebih baik aku keluar menemui Tuan Ali daripada dia marah lagi. Aku pun keluar dari kamar, dan berjalan ke ruang tamu.
"Prilly? Ini kamu?" Aku menghentikan langkah ketika mendengar suara wanita tua. Aku tersenyum memandang Nyonya Wallace (pembantu tertua dirumah ini) yang juga tersenyum kearahku.
"Iya, Oma. Gak cocok ya?" Tanyaku pesimis. Oh iya, disaat pembantu yang lain memanggil Nyonya Wallace dengan embel embel nyonya, hanya akulah yang memakai embel embel oma atas permintaannya sendiri.
"Kamu cantik sekali Pril. Baru kali ini Oma liat kamu berpenampilan seperti ini." Ujar Oma Wallace berdecak kagum. Aku tersenyum malu, "Biasa aja ah Oma. Lagian ini bukan baju Prilly kok. Tadi Tuan Ali yang suruh pake." Jelasku. Kulihat ekspresi Oma Wallace langsung sumringah.
"Yaudah, Prilly samperin gih. Oma mau lanjut beres beres dulu." Aku mengangguk lalu kembali melanjutkan perjalanan keruang tamu.
Sesampainya diruang tamu, aku melihat sebuah punggung dibaluti kemeja duduk disofa. Dengan sekali helaan nafas, aku memberanikan diri memanggil Tuan Ali.
"Tuan." Panggilku membuat si macan tutul menoleh. Seketika matanya terpaku menatapku dari atas sampai bawah. Apakah ada yang aneh dengan penampilanku ini?
Tuan Ali berdiri dari duduknya, lalu mendekatiku. Dia tersenyum tipis. Tunggu... DIA TERSENYUM?!
"Tuan...Ali... senyum?" Tanyaku tak percaya. Bayangkan saja, seorang pria yang tak pernah tersenyum ini menunjukkan senyum mahalnya didepanku!
"Gue? Senyum?" Jiah dia malah nanya balik. Aku segera mengangguk membuat keningnya mengernyit.
"Siang siang gausah halu." Ucap Tuan Ali lalu berlenggang pergi dari hadapanku. Jih siapa yang halu coba? Jelas jelas dia tersenyum! Ah sudahlah -_-.
----
Hola hola 😄 Kita ketemu lagi di part 4 HAHA 😂 Jangan lupa Voment ya gays 😁 30 vote + 2 comment baru lanjut okei (biar ada stok 😝) Oke deh see you di part 5 👋
8 Agustus 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
My Employer Love
Fiksi PenggemarKarena dia, aku menderita. Karena dia, aku menangis, tapi karena dia juga aku bahagia. Sikap arrogant dan suka membentak-nya membuatku perlahan mulai mencintai sosoknya. Sosok pria kejam berhati iblis yang realitanya adalah... majikanku. -Prilly Adi...