Imprevisto

650 115 123
                                    

Bolak-balik antara Jakarta dan Australia menjadi rutinitas dua minggu terakhirku. Alih-alih liburan, justru aku harus menyelesaikan kelengkapan berkas sekolah sebelum tanggal kepulanganku ke Jakarta.

Keluargaku asli Jakarta. Saat usiaku genap empat tahun, Ayah dipindahtugaskan ke Australia. Tidak terasa, empat belas tahun kami tinggal di Australia. Banyak hal yang kami lalui, mulai dari kesulitan mencari rumah sewa hingga kami seringkali diundang makan bersama oleh tetangga-tetangga kami dari berbagai macam latar belakang. Tepat awal tahun ini, Ayah memutuskan untuk pensiun dan kembali ke Jakarta.

Aku senang pada akhirnya bisa menetap lebih lama di Jakarta. Walaupun kami pulang setiap natal dan tahun baru, rasanya belum puas untuk mengeksplor tanah kelahiran sendiri. Terlepas dari udara yang semakin tercemar polusi dan macet, Jakarta akan selalu memiliki porsi di hati.

Ucapan terima kasih dari awak pesawat mengembalikan fokusku. Kali ini aku berpergian sendiri. Ibu yang biasa menemani sedang sibuk dengan bisnis makanan yang Ia rintis bersama tanteku. Ku arahkan pandangan pada arloji yang menunjukkan tepat pukul setengah empat sore. Cuaca di luar memang sedang tidak bagus, awan gelap terlihat jelas dari kaca jendela. Untungnya, aku tetap bisa mendarat dengan selamat.

Tidak butuh waktu lama untukku keluar dari pesawat, aku pun berjalan menuju imigrasi. Ku aktifkan ponsel sembari menunggu antrean imigrasi yang cukup lenggang, tidak seperti biasanya yang seperti mengantre sembako.

Ponselku berdering sesaat setelah aku keluar dari imigrasi. Bibirku otomatis melengkungkan sebuah senyuman setelah melihat nama yang muncul pada caller ID.

"Iya, Halo, Bu."

"Nak, sekarang kamu udah di mana?"

"Baru aja selesai imigrasi, lagi jalan ke baggage claim. Kenapa, Bu?"

"Yang jemput kamu bukan Ayah ya. Sakit pinggangnya kambuh jadinya Dito yang jemput."

"Oalah, Dito udah tau kan aku di terminal mana?"

"Udah Ibu kasih tau. Hubungin dia aja terus kalau belum datang. Udah ya, Ibu lagi ngegoreng tempe nih. Hati-hati, Nduk."

"Oke, Bu."

Menunggu sekitar lima menit, aku berhasil mendapatkan koperku. Sembari menunggu Dito—sepupuku—datang aku punya beberapa waktu untuk bersantai di lounge. Lima belas menit pun terlewati. Sebuah donat gula berhasil ku habiskan dan hot chocolateku sisa setengahnya.

Hujan turun sesaat aku tiba di lounge dan baru berhenti kira-kira tiga menit yang lalu. Kantukku seketika muncul kala suhu ruangan bertambah dingin ditambah sofa empuk yang kutempati. Aku refleks menempelkan kepala di puncak sofa untuk beristirahat sebentar.

Setengah terlelap, aku melihat bayangan sepatu yang melangkah mendekat ke arahku. Bersamaan dengan itu aku mencium aroma parfum yang rasanya tidak asing untukku. Ku buka mata lebar-lebar dan menoleh sedikit ke kiri.

"Lu-luke?"

Dia, Luke Hemmings. Yang tak pernah datang kala aku menantinya, sekarang Ia ada di depanku saat penantian tersebut telah hancur lebur.

Dia, Luke Hemmings. Yang kehadirannya masih mampu membuat ritme jantungku mendadak tak karuan.

"Hey, uhm, Gis." balasnya dengan menyunggingkan senyum.

Aku membeku setelah tangan Luke terbuka lebar memelukku. Oh, pelukan itu lagi.

Dia memelukku cukup erat. Tiga detik yang menambah pahitnya kenyataan. Sekeras apapun aku mengelak, perasaan itu masih ada.

ImprevistoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang