Satu hal yang tak pernah aku anggap penting. Hubungan serius, pernikahan. Sudah lama orang tuaku mengidam-ngidamkan aku untuk mempunyai calon suami tanpa aku tahu. Aku lebih mementingkan kuliah dan impianku hingga tak memikirkan apa-apa lagi. Sampai sekarang pun begitu. Namun saat aku sudah menyandang gelar direktur, tiba-tiba orang tuaku berniat menjodohkanku. Tanpa sepengetahuanku, orang tuaku serta orang tua laki-laki itu mempertemukanku dengannya. Dan makin lama makin parah…
Menunggu lagi menunggu lagi. Setiap hari begini, bagaimana nanti jika aku sudah menikah dengannya? Dasar, tidak bertanggung jawab! Kenapa nasibku selalu sial, dari kecil sampai sekarang juga?! Mungkin tuhan tidak sayang padaku, hiks.
Tin Tin Tin
Akhirnya dia datang juga, tanpa banyak bicara aku masuk ke mobilnya dengan cepat. Untunglah dia diam saja, aku malas meladeni dia yang biasanya protes. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku tidak berniat bicara maka sebagai gantinya aku mengalihkan pandangan ke luar kaca.
Sudah setengah perjalanan, tapi dia diam saja. Kenapa dia? Apa dia ada masalah? Tidak biasanya dia begini. Terlebih saat aku menatapnya terus, biasanya dia pasti percaya diri sekali. Tapi sekarang? Apa dia sakit? Ah.. aku kok jadi khawatir dengannya? Aku pasti sudah gila!
“Kamu kenapa?” tanyaku akhirnya setelah membuang jauh-jauh gengsiku.
Dia melirik sekilas ke arahku, “nggak papa.”
“Oh,” aku hanya bisa bilang begitu. Mau bagaimana lagi?
Kami terdiam lagi. Aku tak tahu harus bagaimana jadi aku hanya diam. Selang beberapa detik, aku yang mulai bosan mengeluarkan HP ku dan mendengarkan musik dengan earphone. Sepertinya memang dia ada masalah, pikirku. Mungkin dia ingin merenung sendiri.
Rumahku memang cukup jauh, maka dari itu aku meminta untuk diantar- jemput jika ke kantor. Sebelumnya kakakku, Lina yang suka mengantar jemputku tapi sekarang pekerjaan ini digantikan olehnya atau mungkin harus kuterima sebagai calon suami.
Tanpa sadar, aku terlarut dengan alunan musik dan lamunanku. Berkat itu aku tidak memikirkan dia yang ada di sebelahku. Aku mengingat kembali saat aku dan dia pertama kali bertemu sebagai klien bisnis.
“Aku Tiara,” kataku saat itu. Saat dimana aku tak mengenalnya sama sekali selain hanya sekedar klien yang perlu aku tangani.
Ia tersenyum. “Slardo.”
“Baiklah kita mulai perbincangannya. Hmm.. maaf sebelumnya, saya tidak memakai baju formal. Saya terburu-buru dan lupa berganti baju. Maaf sebesar-besarnya,” jawabku dengan senyum penuh penyesalan.
“Tidak papa. Kamu tetap profesional memakai baju itu.”
Aku melihat baju yang melekat di tubuhku. Kaus longgar yang bergambar mickey mouse dan celana pendek sepaha yang agak ketat. Bagaimana ini disebut professional? Dasar lelaki aneh! Tapi apa mungkin Slardo menyindirku? Aku tak tahu, bicaranya normal.
Setelah beberapa menit berbincang.
“Tiara, saya sedang terburu-buru mungkin kamu bisa membaca ini untuk menjadi bahan pertimbangan kamu sendiri. Jika kamu berniat menyetujuinya, kamu bisa menandatanganinya dan hubungi saya atau asisten saya. Ini kartu nama saya. Maaf.” Ia terlihat terburu-buru terlihat dari ia menyerahkan map dan kartu namanya.
“Kenapa kamu tersenyum sendiri?”
Aku menoleh ke Slardo.
“Hei, orang nanya itu harus dijawab!”
Aku berkedip berulang kali sebelum manjawab, “tidak papa.”
“Oh.”
Aku bingung dengannya, mengapa tiba-tiba gelagatnya aneh begini? Lagipula ini sudah jam sepuluh tepat tapi mengapa aku belum sampai di rumah? Aku melihat keluar kaca mobil. Hei, ini bukan jalan ke arah rumahku. Tanpa sadar, aku mengucapkannya juga di dunia nyata.

KAMU SEDANG MEMBACA
What is Love?
RomanceTiara tak mengerti cinta sampai dia dewasa. Dia tak pernah mempunyai pacar walaupun banyak pria yang mendekatinya dengan gencar. Dia juga tidak matre karena selain keluarganya yang rezekinya lumayan, ia pun sudah memegang perusahaannya sendiri denga...