Ia adalah gadis yang kesadarannya dilempar ke dalam kegelapan.
"Seharusnya ia sudah sadar sekarang."
Ia mengenali suara itu untuk kedua kalinya. Kendati tubuhnya tidak bergerak sesuai keinginannya, karena lagi-lagi ini bukan waktunya. Matanya akhirnya terbuka, dan ia kembali menatap dua sosok familiar berpakaian dokter yang berdiri di hadapannya, menembus kaca berisi liquid tempatnya berada. Kepalanya terasa pusing, tetapi ia bertahan.
"Ah! Aoi, Aoi! Dia membuka matanya!"
Masih dialog yang sama; memori ini nyata.
"Sebentar, Kuroki-san, biarkan aku memberi tanda di sini, da~an, oke selesai, ada apa?"
Masih tatapan yang sama. Kala kelabu bertemu dengan cokelat tua; sebuah hantaman yang sama kala sang pemuda jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Masih gerakan yang sama ketika Kuroki Nanami membuka akuarium itu dan mengeluarkan tubuhnya yang ringkih.
"Apakah kau bisa berdiri?"
Sosok di dalam dirinya ingin berkata dengan sarkasme, tetapi mulutnya tidak dapat bergerak.
"Sepertinya tidak. Aoi, tolong bantu dia."
Hasegawa Aoi mengangguk dan membungkuk, senyumnya cerah, "Oke. Taruh tanganmu di bahuku. Bisakah kau mengangkat tanganmu? Ah, tidak, tangan kirimu. Kau tidak tahu yang mana yang kiri? Ah, yang ini," gerakannya lembut ketika ia membimbing gadis itu mengangkat tangannya yang terasa kaku, seolah berada di dalam air juga membekukan waktu.
"Da~n, mari kita naik, hup."
Masih kehangatan yang sama, masih tubuh lemah yang sama, masih adegan yang sama, masih rasa frustasi yang sama kala tahu kemungkinan besar memori ini masih belum lengkap.
"Halo, Alice. Tetapi tampaknya masih terlalu cepat bagimu untuk dipanggil itu. Dan terus-terang saja, Alice terlalu kebarat-baratan. Aku akan memberimu nama belakang baru, tetapi tenang saja, aku akan menjaga nama aslimu, karena hanya itu yang aku tahu tentangmu."
Ia masih ingat dialog ini, kalimatnya menggema hingga ke dalam dirinya sendiri. Nanami dan Aoi berdebat kecil tentang nama belakangnya sejenak sebelum sepakat gadis itu akan menggunakan nama belakang Aoi, keduanya berbicara lagi, tetapi kata mereka lewat begitu saja di dalam diri gadis itu, tidak melekat—tidak penting. Lalu delapan kata itu muncul lagi.
"Apapun yang mereka katakan nanti, kau bukan Alice."
Rasanya seperti memainkan sebuah game tanpa opsi save.
Gadis itu setengah yakin kesadarannya akan dilempar ke dalam kegelapan lagi. Tetapi kedua sosok itu kemudian menoleh ke arahnya, senyum Nanami lebar dan penuh dengan kebanggaan, hampir seolah wanita muda itu tengah menatap anak yang sangat menjanjikan.
"Nah, kalau begitu, selamat datang di Fantasi, Hasegawa Sei."
Gadis itu tertegun, namanya bukan lagi desis statis televisi.
Sesuatu di dalam dirinya pecah tanpa sisa, dan memori datang membanjiri tatapannya. Rasanya tidak lagi seperti tenggelam ke dalam bayangan, lebih menyenangkan dan nyaman, kepingan kosong di dalam dirinya seolah lengkap lagi. Karena identitasnya akhirnya kembali.
Ia adalah Hasegawa Sei.
Sei—gadis itu ingat tulisannya, sebuah kanji yang dapat dibaca menjadi beberapa arti.
Salah satunya adalah Kehidupan.
"Kau adalah Kehidupan."
Kau adalah Sei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasiSatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?