Hari Kamis siang adalah puncak kegusaranku. Masalahnya mungkin sepele, nomor ponsel yang puluhan kali coba kuhubungi tidak aktif. Kalian pernah merasakan selama tiga hari mencoba menghubungi sebuah nomor, mengulang hingga duapuluh tujuh kali dalam sehari, dan selama itu nomor tersebut tidak aktif? Bagaimana rasanya? Ayo beritau aku.
Sebenarnya aku mau menghubunginya, maksudku pengacara playboy sahabatku yang kupercayakan mengurus segala tetek bengek urusan hukum atau apalah yang bersifat legal. Tapi aku cukup tau diri, hari Senin adalah hari super sibuk untuknya. Jadi karena aku adalah klien yang sangat baik hati, aku rela menunggu hari selanjutnya. Ini bukan urusan hidup atau mati. Jadi kesabaran kubiarkan menguasai. Tapi disaat gawat super darurat dia harus siap tanpa bantahan meski itu tengah malam, dini hari ataupun di hari libur. Cukup adil kan?
Aku hanya ingin menanyakan urusan berkas rumah yang baru kubeli. Aku mau dokumennya sudah beres sebelum aku menempatinya. Tidak lucu kan setelah aku tinggal di rumah itu, digugat oleh pihak-pihak yang tak pernah aku tau sebelumnya. Jadi intinya aku mau semuanya beres. Segera! Tapi sialnya si pengacara playboy itu tak bisa kuhubungi. Dan dobel sial aku tak menyimpan nomor kantornya. Biasanya aku selalu menghubungi ponselnya, lebih cepat ke sasaran.
Jadi jam makan siang hari ini aku relakan untuk nyamperin kantor si pengacara. Lagian akhir-akhir ini aku tidak bertemu atau sekadar jalan keluar dengannya. Kesibukanku dan acara di rumah saat akhir pekan adalah alasan utama dan dia juga sepertinya supersibuk. Sebenarnya aku jarang datang ke kantornya, biasanya aku menghubunginya terlebih dulu kemudian menyelesaikan segala urusan di rumahnya atau dia yang datang ke kantorku.
"Pak Bima tidak masuk kantor semenjak Senin kemarin." Laki-laki sekitar dua puluh lima tahun dengan body berotot padat yang kutau sebagai asisten Bima, pengacara playboy yang kumaksud memberi informasi.
"Jadi dimana bisa ketemu Bima?"
"Pak Bima tidak menjelaskan dimana tapi katanya tidak di rumahnya. Tapi saya diberi nomor untuk dihubungi. Hanya untuk urusan pekerjaan."
"Bisa hubungkan dengan Bima sekarang? Bilang Abimanyu Tanaya." Karna, laki-laki asisten Bima mengangguk dan memberiku senyum ramahnya. Aku yakin senyum itu bisa membuat seorang gadis akan menerjangnya untuk duduk di pangkuannya.
Setelah telefon tersambung dan sepertinya dia bicara dengan seorang perempuan, Karna menyodorkan gagang telefon padaku. Dan segala rasa gusarku, segala umpatan yang telah kusiapkan untuknya harus kutelan dalam-dalam, menyimpannya dengan baik untuk kukeluarkan dilain waktu, setelah mendengar suara lemah dan tidak bersemangat seorang Bima.
Kukembalikan gagang telfon pada Karna tanpa lupa mengucapkan terimakasih. Tanpa basa-basi aku langsung menuju mobilku di parkiran kantor ini. Suara lemah tak bersemangat dan perempuan. Itu yang memenuhi otakku sepanjang perjalanan kembali ke kantor. Apa dia bersenang-senang di Kamis siang? Aku memang penasaran tingkat nasional, tapi aku harus bersabar. Jarak tempuh kantor dan persembunyian Bima tak memungkinkan untuk aku kembali ke kantor setelah jam makan siang. Sedangkan di kantor masih banyak hal yang harus kuselesaikan. Jadi nanti sekalian pulang kerja aku akan memuaskan rasa penasaranku.
Satu pintu di sebelah timur, tak dikunci. Langsung masuk. Itu kalimat terakhir Bima ditelfon tadi siang yang kuingat baik-baik. Dan sekarang aku sudah berdiri di depan pintu apartemen yang dimaksud. Oh! Ternyata dia begitu dekat. Tapi aku malah tak tau kalau dia bersembunyi di sini. Bahkan di pelataran parkir pun aku tak mendapat petunjuk.
Segera saja kubuka pintu di depanku yang tidak tertutup dengan sempurna dan kudapati pemandangan mengejutkan menyambut kedatanganku. Pemandangan yang membuat jantungku hampir meloncat keluar meninggalkan tubuhku.
Bima sedang duduk bersandar pada sebuah sofa yang terbungkus kulit berwarna hitam. Seseorang sedang menunduk di hadapannya sedang mengancingkan kemeja yang dikenakan Bima. Seorang gadis!
Aku sering mendapati pemandangan yang lebih 'hot' dari apa yang kusaksikan sekarang. Gadis dengan baju atasnya yang berantakan di pangkuannya, atau hanya kepala si perempuan yang ada di pangkuan Bima. Ataupun perempuan dengan rok yang tersingkap yang ditindihnya di atas sofa ruang kerjanya. Bukan itu masalahnya. Tapi kali ini adalah siapa gadis yang bersamanya.Bima menoleh kearah dimana aku berdiri mematung. Wajah putih tampannya terlihat agak pucat. Dia tersenyum lemah dan melambaikan satu tangannya. Ketika aku telah berada di dekat sofa hitam tempat Bima duduk, gadis itu berdiri menegakkan badan dan mengibaskan rambutnya yang tergerai, menoleh kearahku.
Tatapan kami bertemu, terpaku beberapa saat.