Kepalaku benar-benar sakit. Kurasa, aku sudah mati sekarang.
Bagaimana bisa aku mengambil kesimpulan semacam itu?
Sinar terang yang menerpaku adalah alasannya.
Whoa, aku sudah mati sekarang?
Bagus─
"Kau sudah sadar?"
Aku menoleh. Seorang wanita berjalan mendekatiku. Kurasa ia masih muda─20 tahunan?
"Kau dibawa oleh seorang wanita─katanya kau mabuk di kedainya," jelasnya sambil memeriksaku.
Oh. Aku mabuk?
"Namaku Kim So Jung. Tapi, banyak yang memanggilku Sowon─harapan."
Setelahnya, ia tersenyum ke arahku. "Selamat datang di klinikku. Setelah ini aku akan menyuruh sopirku untuk mengantarmu pulang─"
"─Jangan."
Pulang.
"Jangan. Aku tidak ingin kembali─"
Memohon kepada seseorang yang bahkan tidak kukenal. Memalukan.
Lantas yang kulihat, bibir tipisnya mengembangkan senyuman manis. Ia meletakkan papannya sebelum akhirnya menyodorkan sesuatu.
Secangkir teh.
"Kau bisa menceritakan masalahmu. Tidak mungkin kau mabuk-mabukan dengan wajah babak belur seperti itu jika tidak ada masalah," ia menarik kursi dan duduk di sampingku. Memandangku lurus.
"Aku tidak bercerita dengan orang asing," desisku dengan sinis.
Setiap wanita adalah bencana─hanya itu yang hinggap di kepalaku. Mendiang Mama, Mama-ku, Jinsol, Shannon, Halla─Yein.
Sial.
"Baiklah, aku tidak memaksa," ia menepuk pahanya sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke luar. Namun, sesaat kemudian, ia kembali dengan sebuah kartu di tangannya. "Hubungi aku jika kau butuh teman untuk bercerita. Aku bersedia membantumu," katanya sambil tersenyum, seraya menyodorkan kartu tersebut ke arahku.
∫
Dengan kartu ditanganku, aku pergi keluar dari klinik milik seorang wanita bernama So Jung itu.
Perasaanku semakin kacau jika mengingat aku tidak memiliki tempat untuk pulang sekarang. Papa menggila. Ditambah Mama dan Jinsol akan menyuruhku untuk tinggal di tempat lain guna menjauhkanku dari Papa.
Saat itu juga, aku sadar bahwa aku hanya memiliki sedikit uang yang cukup untuk menginap satu malam di sebuah penginapan paling sederhana. Tanpa sarapan pagi yang disediakan yang artinya, aku harus mencari uang.
Sekolah? Siapa yang memikirkan sekolah disaat seperti ini?
Kepalaku semakin pening jika mengingat soal sekolah sialan itu─untuk apa pula Halla berada disini.
"Hei─"
Bagus.
"Kau baru saja ke luar dari klinik tersebut. Ada apa?"
Kenapa pula ia bertanya?
"Maafkan aku."
"Jangan berbicara lagi," potongku dengan cepat-cepat. Setelahnya berjalan melewatinya yang menatapku dengan tidak nyaman.
"Sampai kapan kau mau seperti ini?"
"Sampai kapan kau mau membuntutiku seperti ini?"
Segera aku berbalik, menatap kedua manik matanya yang menatapku terkejut. "Kenapa kau tidak pulang saja?" tanyaku, hampir berteriak.
Dapat kulihat wajahnya yang gugup, memainkan jemarinya, berusaha menghindari mataku. "Ini bukan akhirnya, Jungkook─"
"Ini adalah akhirnya dan kau yang membuat semuanya berakhir, Yein."
∫
Aku tidak menyesal sudah membuatnya sakit hati.
Tidak.
Sama sekali─
"Berhenti disana kau, Jeon Jungkook."
Aku menoleh. Mendapati gadis itu disana. Menatapku dengan pandangan penuh amarah.
"Jika kau ingin menyalahkanku, sebaiknya kau berkaca," napasnya memburu, "Ini juga kesalahanmu yang tidak berani menghadapi resiko. Jika kau hidup seperti ini, kau tidak akan menang dalam hidupmu sendiri!"
Ia terus berteriak.
"Kau hanya mengambil keputusan dan mendapatkan resikonya tanpa dapat menerimanya. Sebenarnya, maumu itu apa, sih?!"
Menarik kerah bajuku. Wah, dia kuat juga.
"Jika kau seperti ini terus, kau akan sepertiku!"
"Jika kau terus menjadi pengecut seperti itu, meskipun kau adalah pemeran utama dalam ceritamu─kau hanya akan menjadi figuran pada akhirnya."
Pegangannya melemah. "Ayahmu, Yoongi hyung maupun Halla bukanlah akhirnya. Apalagi diriku─"
"Tau apa kau─"
"Aku memperhatikanmu, dasar sialan!" Ia menghempaskanku sehingga aku terjatuh. "Kau yang memilih untuk mengakhirinya, Jeon Jungkook! Kau! Hanya karena pukulan keras dari ayahmu yang kau terima, bukan berarti kau harus menyerah! Apa? Kau bilang kau ingin bebas? Sialan, hanya angan-angan saja kau rasakan jika begini saja kau sudah menyalahkan orang lain─"
Ia berhenti sejenak. Tangannya terangkat, menunjuk diriku. "Harusnya, kau menyalahkan dirimu yang terlalu lemah. Dan, menyerahkan segalanya kepada seseorang yang kau sangat ingin lepas dari belenggunya. Tapi─"
Aku benar-benar tidak ingin mendengarnya berbicara lagi. Semua yang ia katakan benar. Dan, aku tidak ingin membuatnya berbicara lagi.
Dan, satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah menariknya ke dalam pelukanku.
"─Jangan bicara lagi. Aku mengerti─"
Aku semakin mengeratkan pelukanku kepadanya.
Terdengar dramatis.
Tapi, saat itu juga, hujan turun, membasahi bumi. Seiring dengan suara tangisanku yang beradu dengan suara air hujan yang menyentuh tanah, Yein menenggelamkan wajahnya di dadaku. Tubuhnya bergetar.
Yang dapat kudengar hanyalah isakan yang keluar dari mulut kami.
∬
Jadi sebenarnya saya sudah post chapter ini tadi siang. Tapi, akhirnya saya repost kembali karena tadi saya lihat, tidak ada bacaannya....
Tidak cukup panjang yang bisa saya sampaikan selain kata terima kasih karena sudah membaca karya saya!
- a.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Freedom
AdventureBaginya, hidup bersama seorang ayah yang sibuk dan ibu serta adik tirinya merupakan sebuah beban. Belum lagi, seorang gadis yang memiliki wajah yang-hampir-serupa dengannya, mengaku-ngaku sebagai dirinya yang lain. Bagi seorang Jeon Jungkook, kebeba...