Satu

759 13 0
                                    

Tamara membuka matanya pelan. Dia begitu malas beranjak dari kasurnya yang empuk. Bantal ini, guling dan selimut ini begitu hangat dan nyaman.

Tangannya pun menelusuri wajahnya. Ada perih yang terasa. Panas dan pedih. Ah perasaannya mulai bermain rupanya. Tamara melempar pandangan ke arah jendela yang sengaja dia buka semalaman. Korden putih berkibar-kibar diterpa angin.....

"Mama......"
Suara kecil itu terdengar lirih. Dia segera menoleh ke arah suara. "Hei, kesayangan mama, sini....."

Tangannya membentang dan tanpa ba bi bu, lelaki kecil, pangerannya menghambur ke pelukannya. Feroz terkekeh, ketika Tamara menghujani ciuman.

"Mama sudah bangun. Fe kira, mama masih capek."

Tamara menggeleng. "Mama sudah bangun daritadi sayang."

"Mama kalau butuh Fe, panggil saja Fe."

Tamara kembali memeluk Feroz, kali ini lebih erat.

------

Tamara sudah di ruang kerjanya, tak jauh dari ruang tamu. Masih dalam satu rumah. Dia duduk sambil mengetuk-ngetuk bolpoinnya ke meja. Feroz sudah berangkat sekolah. Hanya ada Rosa asistennya. Dia tak sadar daritadi Rosa mencuri pandang. Asisten yang turut membantu membesarkan toko online kecantikan itu hanya bisa kawatir. Ada bekas merah di pipi bos perempuannya itu. Mata sembab dan lebam di beberapa tempat. Wajah cantiknya masih ada, hanya tercoreng. Kenapa sih Tamara diam aja? Tanya Rosa dalam hati.

"Rosa...."

"Ya bu?"
"Kamu pulang aja dulu."
"Tapi ini paketnya belum selesai semua?"

Tamara menghela nafas, sembari melihat lantai ruang kerjanya berantakan. Mulai tumpukan paket, selotip, gunting, kertas payung, dll. Semua berserakan.

"Ya sudah selesaikan aja dulu."
"Ibu mau kemana?"
"Ya?"
"Ibu kalau mau pergi, biar saya jaga rumahnya. Gak apa bu.Lagian kalau saya pulang, malah bengong nanti."

Tamara memperhatikan asistennya. Rosa ini masih muda, baru lulus SMA setahun yang lalu, dan butuh uang. Tipe perempuan lugu. Jujur dan bisa diandalkan. Dia beruntung punya asisten seperti Rosa yang bisa dipercaya.

"Aku pengen pergi aja, cari ide, sekalian jemput Feroz."

"Ga apa bu, biar saya jaga rumah, sambil beresin ini. Kaya biasa."

------

Sudah dua jam, Tamara hanya berputar-putar saja. Untuk mampir saja, malasnya minta ampun. Sesekali dia melirik arlojinya. Baiklah, sekarang jemput Feroz aja, pikirnya. Dia pun mengarahkan kendaraannya melaju menuju sekolah Feroz.

"Mamaaa......" teriak Feroz sambil tersenyum. Tamara segera bangkit dan mendekati Feroz.

"Bu...."

Tamara menoleh, terlihat guru Feroz sudah berada di sampingnya.

"Tadi Pak Abi datang. Tapi setahu saya hanya melihat saja, terus pergi lagi."

"Feroz tahu bu?"

Bu Nana mengangguk pelan. "Dia tahu tapi pura-pura tidak tahu."

Tamara mengangguk, sembari membenarkan kacamatanya. "Saya mohon untuk menjaga Feroz dari ayahnya ya bu. Saya mohon."

"Iya bu, pasti...."

----

"Mama, kita ke apotik dulu yuk."

"Fe mau beli apa?"

"Beli obat untuk Mama. Itu pasti sakit ya? Ayah kenapa mukul Mama? Apa salah mama? Kenapa selalu mukul? Fe tidak suka. Fe pengen lindungi Mama, tapi tidak boleh. Fe pengen cepet besar biar bisa kalahin Ayah."

Degh!

Hampir saja Tamara menghentikan mobilnya, setelah mendengar ucapan Feroz. Anak sekecil itu sudah bisa berpendapat.

"Mama tidak apa-apa kok sayang."

"Mama tidak boleh bohong! Fe kalau seperti itu uda nangis. Pasti nangis."

".........."

------

Feroz menggamit tangan Tamara ketika memasuki apotik. Ya, Tamara akhirnya menuruti permintaan anaknya itu. Padahal menurutnya, lebam ini akan hilang setelah dikompres air es saja.

"Ibu mau beli obat apa?"
"Mama butuh obat penghilang lebam sama nyeri, ada?" serobot Feroz.

Tamara hanya bisa memandang takjub, saat kembali memandang wanita di hadapannya, rupanya dia sedang tersenyum ke arah Fe.

"Baik, tunggu ya." ujarny ramah sambil memamerkan sederet gigi yang berjajar rapi.

Keduanya kemudian menuju tempat duduk. sesekali Tamara menarik bibirnya sampai terlihat segaris, sambil mengedarkan pandangan.

"Maaf....."

Terdengar suara berat dari sampingnya.
"Ya?"
Sebentar sepertinya tidak asing....

"Tamara?"

Tamara mencoba mengingat-ingat.

"Tamara?"
"Iya betul." Dia berusaha bersikap seolah mengenalnya.

"Maaf aku ga yakin, karena kamu pakai kacamata siang bolong begini. Sama anak?"

Tamara mengangguk dan tersenyum tipis. Dia memalingkan wajahnya. Berharap tidak ada percakapan lagi.

Feroz yang melihat mamanya tidak nyaman, juga memasang wajah galak. Hanya saja pria itu menanggapinya dengan senyuman.

"Suamimu mana?"

Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang