KANIA
Namaku Ken Andreas. Banyak temanku yang mengatakan bahwa aku adalah pemuda yang dingin, misterius, kutu buku dan masih banyak lagi julukan lain yang mereka berikan padaku. Aku adalah pemuda yang tak pernah merasa kesepian karena yah... aku terbiasa sendirian tanpa banyak teman. Tapi, suatu hari seorang gadis kecil yang menurutku sangat lucu berhasil menarikku dari dunia paling nyaman yang pernah aku miliki. Dialah Kania Andreana, sepupu tercintaku yang kini tinggal bersamaku untuk melanjutkan sekolahnya di Malang. Dia adalah anak dari adik adiknya nenekku. Parahnya, kami adalah saudara sepersusuan.Kania seringkali pergi ke kamarku untuk bermain atau hanya sekedar untuk berkeluh kesah padaku. Seiring bertambahnya waktu, aku sadar bahwa aku mulai menyukai gadis mungil ini. Umur kami hanya terpaut 2 tahun, tentunya aku sebagai kakaknya.
Mungkin bagi Kania, aku adalah hidung yang tak selalu diperhatikannya. Bahkan, seorang Ken Andreas yang notabene-nya adalah pemuda yang sangat membenci bela diri, kini diam-diam belajar Karate hanya untuk berperan menjadi sebuah mikroba normal yang cukup kuat menjaga Kania dari parasit yang ingin menyakitinya. Tentu saja, hal itu aku lakukan secara diam-diam. Hingga suatu hari Kania datang kepadaku seperti biasanya. Kali ini wajahnya lebih bersinar dari terakhir kali ia datang ke kamarku.
"Ada apa, Kan?" tanyaku.
"Anu, Kak Ken. Sepertinya Kania suka sama...." Ia sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Sama siapa? Jangan bilang, Kania suka sama Kak Ken. Haha," kataku dengan nada bercanda, padahal dalam hati aku merutuki kalimatku barusan.
"Ya nggak lah, Kak. Kak Ken kan sepupu Kania. Ya kali suka sama Kak Ken."
Trashhh! Hatiku langsung terenyuh mendengar perkataannya. Hancur hati Kakak, Kan."Lalu?" kataku sembari menyembunyikan rasa kekecewaanku.
"Dia Roy, Kak Ken. Kak Ken tahu, kan? Ituloh yang dulu sempat ngantar Kania pulang ke rumah," katanya. Oh, jadi pemuda cungkring itu yang membuat adikku bersemu merah seperti ini.
"Oh."
"Dihh, Kak Ken mah. Gak ada tanggapan yang lain gitu selain bilang 'Oh'. Kayak 'Oh ya? Wahh, dia ganteng juga. Pinter kamu nyari cowok', gitu kek," katanya sembari memajukan bibirnya 5 senti ke depan.
"Kak Ken kan laki-laki tulen, Kania. Yakali Kakak bilang, 'wah, Kania pinter nyari cowok. Roy ganteng kalo kakak liat-liat'. Kan gak banget, Adikku yang cantik," kataku sembari mengelus rambut hitamnya yang mulai memanjang dengan sayang.
***
Seminggu setelahnya, aku benar-benar kaget mendengar langsung dari bibir manis Kania bahwa pemuda cungkring itu tiba-tiba menyatakan cinta pada adikku tersayang. Bagaimana tidak? Kania dengan gamblangnya menyetujui ajakan pemuda itu untuk berpacaran dengannya. Sialan memang.
Aku pergi menuju ke sebuah restoran untuk menemui 'klien bisnis'ku. Setelah sampai di tempat tujuan, sialnya 'orang yang kuhormati' malah membuatku menunggu selama kurang lebih lima belas menit.
"Halo, Kak," sapa 'klien bisnis'ku yan baru tiba di restauran.
"Halo, Roy," kataku dengan sedatar mungkin. Jangan pernah kalian tanya bagaimana bisa aku menghubungi pemuda cungkring ini, karena jawabannya pasti akan membuat adikku tersayang membenciku seumur hidupnya.
Pemuda cungkring alias 'klien bisnis'ku langsung mengambil tempat duduk yang berada di depanku dengan santai. Cih. Apa sih bagusnya si Cungkring ini daripada diriku. Lihatlah tubuhnya, seperti tak ada otot sama sekali. Pasti dia tak memiliki perut kotak-kotak sepertiku. Setelah merasa posisinya nyaman, pemuda itu memangggil pelayan untuk memesan sebuah kopi.
"Oke Cungkring. Disini aku gak mau basa-basi. Jadi, gimana? Kamu benar-benar serius dengan Kania?" kataku mengintimidasinya. Aku lihat bahunya menegang seketika mendengar tutur kataku.