Hai. Aku Prilly. Umur ku 22 tahun, dan sekarang sedang bekerja menjadi pelayan di kafe dekat universitas ku. Aku masuk dalam jurusan kedokteran di Universitas yang ada di Jakarta. Ini memang membuat orangtua yang tinggal di Ambon bangga padaku.
Sehabis kuliah aku akan bekerja di sini,mencari uang untuk memenuhi keperluan yang sangat banyak sebagai anak kost seperti ku.
"Prilly." Aku terlonjak kaget. Lalu segera menyadari kesalahanku. Aku melamun ketika orang didepan ku menunggu dengan muka sedikit kesal nya. Aku meringis pelan. Kulihat Andrea, temanku menggeleng pelan sambil terkikik kecil.
"Maafkan saya. Anda mau pesan apa?" Ucapku.
"Cappucino Frappe satu." Ucapnya dengan suara pria nya sambil menatap ku. Aku kan jadi salah tingkah kalau seperti ini! Jadi aku memfokuskan diriku kearah monitor untuk mengetik pesanan nya.
"Ada lagi?" Ucapku lagi, dia menggeleng. Aku mengangguk.
"Maaf, atas nama siapa?" Aku menunggunya.
"Ali."
***
Aku sudah menyelesaikan antrian panjang tadi, sekarang saatnya aku mengantarkan pesanan yang sudah banyak di meja.
Pesanan pertama dengan nama ALI. Aku segera mencari pria tadi. Tentu saja aku tidak lupa dengan pria itu. Pria dengan mata tajamnya.
Dia sedang duduk di meja dengan dua kursi yang bersebelahan dengan jendela besar yang menyajikan pemandangan Jakarta yang panas.
"Maaf, atas nama Ali?" Ucapku yang menggenggam pesanan nya; cappucino frappe. Dia menatap ku, lagi. Oh Ya ampun, hentikan tatapan tajamnya itu! Dia lalu mengangguk dan mengalihkan perhatiannya kearah pemandangan.
Aku pun ingin segera berbalik. Karena masih banyak pesanan yang akan kuantar.
"Mbak."
Eh, siapa itu? Aku segera berbalik, dan ternyata pria yang bernama Ali lah yang memanggil ku. Aku tahu dia yang memanggilku karena aku melihat dia sedang menatapku. Aku sedikit ke ge-eran. "Apakah Cappucino Frappe saya low sugar?" Ucapnya.
Apakah tadi dia mengatakan bahwa dia memesan Cappucino Frappe low sugar? Uh-oh, sepertinya telingaku bermasalah kali ini. "Apakah anda memesan Cappucino Frappe dengan low sugar? Berarti maafkan saya jika saya memesankan Cappucino Frappe dengan normal sugar."
Dia tertawa kecil. Kenapa?
"Tidak, mbak tidak salah. Justru saya yang lupa mengatakan nya." Aku menghela nafas lega ketika dia mengucapkan kalimat itu. Syukurlah, aku jadi tidak usah menggantinya dan kena marah Ibu Shilla karena tidak mendengar pesanan dengan baik.
Tapi, aku agak sedikit tersinggung karena dia memanggil ku 'mbak'. Apakah aku sebegitu tua nya kah? Atau memang dia ingin aku memanggil nya 'mas'?
"Panggil saya Prilly. 'Mbak' membuat saya harus mengingat umur." Ucapku. Dia lagi-lagi tertawa kecil. Ah, lebih baik tertawa kecil dari pada menatap ku tajam seperti tadi. Itu mengerikan. "Oke baiklah Prilly, kenalkan saya Ali."
"Saya tahu nama anda."
Lalu dia menaikkan sebelah alis nya. "Jadi anda tahu saya?" Dia seperti ingin menatapku tajam. Dia siapa?
"Iya. Tadi anda memesan dengan nama Ali. Otomatis saya tahu nama anda." Dia lalu manggut-manggut. Lalu dengan menyeruput Cappucino Frappe nya. "Apakah anda sedang ber kuliah?" Dia bertanya dan sangat tepat sasaran. Apa dia seorang pembaca pikiran profesional?
"Iya." Ucap ku. Lalu dia terkekeh. Apa ucapan ku salah?
"Apa bekerja di kafe ini yang kau sebut kuliah?"
Bodoh. Aku langsung merasakan pipi ku memanas. Sialan. Aku mask perangkap nya. Dia sedang tertawa sekarang. Tadinya aku ingin sekali berteriak jengkel, tapi untuk tidak jadi karena aku ingat aku masih bekerja. Dan bekerja sebagai pelayan tidak boleh memarahi orang yang dilayani nya.
"Terus saja, tertawakan saya." Ucap ku jengkel. Dia malah semakin tertawa, apalagi ada mahasiswa didepan kita yang melihat pemandangan indah ini. Ini memang pemandangan indah. Pria tampan sedang tertawa.
Tawanya reda beberapa saat, lalu dia kembali lagi tertawa. Ya ampun.
"Prilly." Teriak seseorang dibelakang ku. Aku mengenali suara ini, aku sangat mengenali suara ini. Rasa jengkel yang aku rasakan seakan-akan hilang dan terganti dengan rasa takut. Itu suara Ibu Shilla. Aku segera menundukkan kepalaku.
"Kenapa tidak bekerja?" Ucap Ibu Shilla dengan marah sekaligus jengkel. Mampuslah aku.
"Ibu, sudahlah." Eh? Kenapa Ali ikut campur?
"Sudah apanya, Ali. Ibu kan membayar nya untuk bekerja. Bukan untuk mengobrol dengan kamu." Ucap Ibu Shilla, kepada Ali. Aku disini tidak tahu apa-apa. Ali dengan Ibu Shilla? Hubungan apa?
"Menurut Ali, mengobrol dengan Ali termasuk bekerja."
"Apa kamu pikir mengobrol itu bekerja? Ibu sama saja menghabiskan uang Ibu dengan sia-sia."
"Dia bekerja. Pekerjaanya adalah membuat Ali tertawa."
Aku hanya menunduk, dan hanya mendengar suara Ali dan Ibu Shilla. Tapi, Ibu Shilla kali ini tidak berbicara apapun. Aku menjadi semakin penadaran. Ada apa ini? Memangnya apa hubungan Ali dengan tertawa?
"Baiklah." Ibu Shilla terdengar seperti menghela nafas dan putus asa, lalu menghilang. Aku sudah tidak menunduk lagi, dan menatap Ali yang sedang tersenyum.
"Mau temenin saya ngobrol? Siapa tahu rasa penasaran anda sedikit berkurang." Aku membelakkan mata, ngobrol ketika bekerja? Benar saja? Dan kenapa dia bisa tahu kalau aku ini sangat penasaran? Aku semakin curiga kalau dia adalah pembaca pikiran.
"Tenang. Saya seorang psikiater. Jadi saya seperti bisa membaca reaksi seseorang." Aku lagi-lagi kaget. Psikiater? Benarkah?
Tiba-tiba dia mengangkat tangannya dan melambaikan tangannya kearah temanku; Andrea yang sedang menunggu pelanggan di meja kasir. Ketika Andrea melihat ku, dia hanya mengernyit aneh dan berjalan kearah sini. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Anda mau pesan apa, Prilly?" Aku agak tidak enak sebenarnya. Tapi karena ini adalah suatu kesempatan, jadi aku akan menjawabnya saja. Haha.
"Green Tea frappe. satu." Ali mengangguk dan Andrea malah semakin mengerutkan dahinya. Sama seperti ku tadi dia pasti bingung kenapa aku memesan minuman. "Baiklah, ada lagi?" Ucap Andrea sehabis menulis pesanan ku. Ali menggeleng.
"Atas nama siapa?" Ucap Andrea. Dan Ali hanya tersenyum sambil menjawab.
"Ali." []
Saturday, 13 August 2016