Hal yang pertama kali menyadarkannya adalah betapa dinginnya air laut.
Seperti es.
Seperti duri tajam.
Seperti membekukan tubuhnya.Tana terkesiap. Air asin yang memasuki mulutnya, bukan udara. Ia mencoba berenang menuju permukaan, tetapi sia-sia, tangan kanannya tidak bisa digerakkan sama sekali.
Gadis itu meringis menahan sakit di tangan kanannya. Ia sudah cukup beruntung bahwa ledakan tidak membunuhnya.
Tapi air laut akan membunuhnya perlahan.
Tenggelam, tenggelam, dan terus tenggelam.
Tana tidak berusaha melawan lagi. Setidaknya, ia akan mati setelah berusaha melawan. Para petugas itu akan selalu mengingat seorang gadis dengan kemampuan mengemudikan perahu yang sangat hebat, hampir mengalahkan sebuah kapal perang dengan meriam-meriam cair.
Setidaknya, ia akan mati di tengah laut. Suatu tempat di mana ia merasa seperti dirinya sendiri, bebas. Laut adalah tempat pelariannya dari ayah tiri gilanya.
Paru-parunya serasa terbakar dari dalam. Tana mulai kehilangan kesadaran, rasa sakit di lengannya semakin menjadi-jadi. Ia tidak sadar air di sekitarnya berubah merah, bercampur darah yang terus mengalir dari luka besar di lengannya.
Di bawah permukaan, semuanya gelap. Tana tidak pernah takut pada kegelapan, tetapi kali ini berbeda. Kegelapan yang menyelimuti di dasar laut terasa mencekam, menyerap setiap cahaya yang berhasil lolos dari permukaan.
Tapi ... hei!
Sebuah sorot cahaya terang muncul di sudut mata Tana yang setengah tertutup.
Mungkinkah itu malaikat yang akan menjemputnya?Itu hal terakhir yang diingatnya sebelum jatuh ke dalam pusaran yang tak berujung.
***
Ketua Umum duduk di meja kerjanya, menatap gemerlap lampu kota dari ketinggian 40 lantai di kantor pribadi miliknya.
Hari ini sungguh melelahkan. Kompetisi Antar Kepulauan baru saja berakhir, dan sebagai Ketua Umum, ia harus mengikuti acara hingga selesai, bertepuk tangan dan tersenyum hangat hingga pipinya berkedut kepada semua hadirin.
Persetan dengan dengan semua itu.
Masyarakat tidak akan mempercayainya apabila ia tidak melakukan segala hal bodoh itu.Pria berusia 50 tahun itu tersenyum, kali ini tidak demi citranya. Ia tersenyum mengingat bahwa sebentar lagi, ia akan kembali memperpanjang periode kekuasaannya di seluruh dunia.
Masyarakat mencintainya.
Siapa lagi yang mereka inginkan untuk memimpin?Yah, hampir semua.
Secara ironis, anak tirinya sendiri membencinya setengah mati, meskipun ia tahu alasannya. Senyum pria itu memudar.Terdengar suara bel pintu. "Masuk."
Salah satu ajudannya muncul dari balik pintu, terlihat tergesa-gesa ingin menyampaikan berita. Dilihat dari wajahnya, itu berita buruk. Tetapi mungkin sang Ketua Umum menganggapnya berita yang sangat baik.
Ketua Umum tidak mengalihkan pandangannya dari gemerlap lampu kota."Ada apa?"
Ajudannya membungkuk cepat. "Maaf, saya benar-benar minta maaf. Sebuah kecelakaan terjadi di galangan kapal utama di dekat pantai utara."
Kata-kata sang ajudan berhasil menarik perhatiannya. Galangan kapal? Dari sekian banyak tempat, itu adalah tempat ia menyembunyikan perahu putri tirinya.
Bukan tidak mungkin sesuatu yang terjadi berhubungan dengan gadis tidak tahu diuntung itu."Kerusakan yang diakibatkann cukup parah. Dinding galangan jebol dan satu kapal perang rusak akibat ledakan perahu jarak pendek..." si ajudan terhenti. Ia masih muda, dan belum terbiasa dengan sikap Ketua Umum yang amat berbeda bila di belakang muka publik. Lebih dingin.
"Dan apa?"
"Nona Sanchez yang berada di dalam perahu meledak belum ditemukan, Tuan."
Ajudan itu berkata ragu setelah mendengar suara tajam Ketua Umum.Tidak tampak kentara, tetapi sudut mulut Ketua Umum terangkat membentuk senyuman yang segera disembunyikan.
Akhirnya.
Gadis itu mati, bahkan tanpa terlalu banyak usaha. Ia membunuh dirinya sendiri, masuk ke sebuah perangkap secara tidak sadar."Apakah kami perlu menyiapkan pencarian dengan tim khusus?" Si ajudan muda memecah keheningan, bertanya ragu sekali lagi. Ketua Umum sulit ditebak.
Jari sang Ketua Umum mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu yang dipelitur halus, terbuat dari kayu berkualitas tinggi.
"Tidak. Biarkan ia tenang di dasar laut."
Pria itu terkekeh.
"Aku sudah cukup campur tangan dengan hidupnya."
***
Tana bermimpi.
Sebuah pantai dengan pasir putih lembut, buih-buih ombak berkejaran. Lautan berwarna biru di sepanjang mata memandang. Pelepah kelapa bergoyang diterpa angin.
Dan ibunya berada di tengah semua itu. Berdiri, rambut panjang hitam legamnya tertiup angin. Sama cantiknya seperti yang mampu diingatnya.
"Ibu?"
Wanita itu menoleh. Tersenyum hangat. Tetapi tidak bicara sepatah kata pun.
Tana ingin memeluk ibunya, dan tidak akan melepaskannya lagi. Tetapi, kakinya seakan tertanam di pasir. Terhisap.
Ibunya menghilang dengan butiran pasir.
Pasir itu ikut menghisapnya.
Kembali tenggelam dalam kegelapan. Dan seseorang muncul di tengahnya lagi. "Siapa?" Tana bertanya lirih.Wajah Ketua Umum yang menyeringai muncul.
***
Itu mimpi yang buruk.Tana membuka mata, dan sadar wajah yang dibencinya sudah hilang. Baguslah. Dari semua mimpi buruk, itu mimpi terburuknya.
Butuh beberapa saat untuk menyadari sesuatu. Ia masih hidup! Bukankah seharusnya ia sudah mati?
Gadis itu memeriksa tempatnya berada.
Ruangan 5×5 meter, semuanya bercahaya dengan cahaya kebiruan lembut. Tidak seperti lampu, lebih mirip fosfor di gua-gua. Hanya ada tempat tidur tempatnya berbaring disitu.Tana menggeliat, dengan syok juga menyadari bahwa tubuhnya masih bisa digerakkan dengan tangan kanan yang sudah terbebat hingga ke siku. Kasurnya bahkan terasa seperti diisi gel khusus.
Gila.
Apakah ini mimpi selanjutnya?Namun, Tana tahu ia tidak bermimpi ketika seorang pemuda memasuki ruangan.
***
Maaf banget lama update...
Siapa yang nunggu kelanjutan hayo? 😃
Makasih banyak orang2 yang sudah memberi feedback, saya hargai sekali.Feedback untuk bab ini? 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Aquatris
Science FictionTana Sanchez tinggal di Kepulauan Tenggara, satu dari delapan sub-negara kepulauan yang tersisa setelah arus gelombang memusnahkan hampir seluruh daratan dunia. Ia lebih suka berkeliaran dengan perahunya dibanding kuliah, untuk menghindari ayah tiri...