Elang.
Elang.
Elang.
Nama itu terus terngiang kembali. Tanpa aku sadari. Tanpa bisa kuhentikan Sendiri. Nama itu terus memenuhi pikiranku tanpa membawa ingatanku kembali.
Harusnya aku bahagia, bagaimana tidak? ia adalah adikku. Satu-satunya keluarga yang aku punya. Namun kita malah saling menyakiti. Keluarga kita yang sudah berada di surga pasti sedih melihat kita.
Dengar, aku merasa bersalah membentaknya kemarin. Aku tak ingin kehilangannya meski ia sudah terlampau menyakitiku. Yang harus ia lakukan hanyalah menjelaskan, dan yang harus aku lakukan adalah mulai memaafkannya. Dengan begitu hidupku akan berjalan seperti yang kuinginkan.
"Fina, tolong belikan bawang ya, ibu lupa."
"Oh iya bu."
Bu Endah sudah seperti keluarga sendiri, bahkan seperti seorang ibu. Maka dari itu keinginannya selalu aku penuhi. Akhirnya aku sedikit terlepas dari pikiran-pikiran berat itu berkat sibuk belanja ke pasar, meski hanya bawang saja.
Namun pikiran itu kembali ketika aku berjalan pulang. Langkahku melamban akibat nama Elang. Bersamaan dengan itu aku merasa ada langkah kaki yang sejak tadi mengikutiku. Ku coba menghentikan langkahku dan berbalik tiba-tiba. Tidak ada orang. Kedua kali kucoba, aku berhasil melihat seseorang. Ketiga kali, akhirnya aku mengenali siapa orang yang baru saja bersembunyi.
"Berhenti mengikutiku!" Teriakku. Ia kemudian keluar dari balik pohon.
"Aku... cuma kebetulan lewat."
"Memang mau kemana?"
"Ke..
"Ke?"
"Ke... Sana! disana ada rumah temanku."
Aku berdiam diri dan menunggu reaksinya.
"Iya, okey, aku ngikutin kakak! kenapa? Kakak ga suka? Yaudah aku pergi ko sekarang." Jelasnya seperti anak kecil yang marah karena ketahuan berbohong.
"Sudah sarapan?" Tanyaku akhirnya. Yang membuat matanya terbuka lebar seakan terkejut dan tak percaya apa yang baru saja aku katakan.
Pagi itu aku mulai membuka hatiku. Mencoba untuk memaafkan satu-satunya keluargaku. Awalnya aku pikir ini akan berat. Tapi ternyata sangat menyenangkan. Seperti baru bertemu dengan orang asing yang cocok dengan kita. Aku tetap senang meski ingatanku belum juga kembali.
Suatu sore di Teras Cikapundung, Siliwangi. Elang membawakanku kopi hitam dari warung.
"Dulu, kita suka minum kopi waktu awal-awal taman ini dibuka."
"Oya?"
"Iya, malem-malem lagi."
"Kenapa malem-malem?"
"Soalnya kalau malem lampu-lampu tamannya dinyalain, jadi lebih indah."
"Oh." Kuteguk kopi dalam gelas plastik pemberian Elang. Suatu bayangan tiba-tiba menghampiriku. Tentang kopi dimalam hari dan tawa lebar kita. Aku dan Elang berada di satu warung kecil. Langsung saja mataku mencari tempat yang sesuai dengan bayangan itu.
"Warung.." Gumamku.
"Kenapa Kak?"
"Kita minum kopi di warung kecil kan?"
"Iya!" Jawabnya senang.
"Apa ingatan kakak.." Lanjutnya, tapi dengan nada yang berbeda.
"Engga." Aku menggeleng.
"Hanya ada bayangan warung, hehe. Tapi warungnya tidak ada ya?"
"Iya, warungnya sudah tidak ada." Jawab Elang datar.
Untuk waktu yang cukup lama kami hanya memandangi air sungai dari atas jembatan. Kopiku hampir habis dan aku menatap Elang. Sebelum meninggalkan taman ini dan pulang, aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Juga, aku ingin mendapatkan jawabannya.
"Elang."
"Ya?"
"Kenapa, kakak tidak boleh mengenalmu? bukankah jika dekat denganmu ingatan kakak akan cepat kembali?"
"Itu.."
Aku menunggu dengan antusias. Namun Elang membuka mulutnya dengan penuh keraguan.
"Apa kakak sudah siap?" Tanyanya khawatir. Wajahnya mengkerut dan sinar matanya melemah.
"Beritahu saja." Perintahku.
"Sebelum operasi, kakak menulis surat untukku. Kakak meminta Juna, temanku, untuk menuliskannya, karena waktu itu kakak sudah tidak sanggup lagi menulis."
"Apa jawabannya ada dalam surat-surat itu?"
Elang mengangguk tanpa menatapku.
"Hari ini, aku ingin membacanya hari ini."
Elang menggeleng dengan keras. Dengan penuh keyakinan dalam tatapannya terhadapku.
"Engga."
"Udahlah, sekarang atau nanti sama aja. siap gak siap, kakak tetep harus baca surat itu."
"Aku kak, aku yang belum siap."
"Kakak gak bisa, ketemu kamu lagi kalau gitu." Aku berbalik dengan penuh rasa kesal.
"Beri aku satu malam!" Teriaknya dari belakangku. Langkahku terhenti sejenak.
"Besok sore, mari kita kesini lagi. Malam ini biarkan masing-masing dari kita mempersiapkan diri, kak."
Malam ini, baiklah. Mari malam ini katakan pada diri kita masing-masing, untuk siap menerima dengan lapang dada apapun isi surat itu dan pengaruhnya bagi cerita kita selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)
Teen FictionSiapa aku sekarang? dan siapa aku sebelumnya? Aku bahkan harus menghafal namaku sendiri seharian penuh. Lalu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenali diriku. Dan juga sosok itu. Lelaki penyuka kopi yang selalu bersandar di bingkai jendela t...