6. Pertigaan

6 0 0
                                    

Aku tidak mengerti, aku tidak melihat Defan tiga hari belakangan ini, setelah tes kepengurusan OSIS selesai, aku tidak melihatnya lagi. Yang jelas aku merasa bersalah sudah bersikap kurang sopan pada orang yang berbaik hati padaku.

****

"Valerie, kau lihat Defan?" Tanyaku pada Valerie

"Defan? Kau tidak tahu ya?"

Aku menatapnya bingung "apa?"

"Ia sedang sakit"

"Ya tuhan. Benarkah?" Kenapa ia sakit? Apa karena ia kehujanan karena aku, tapi realitanya itu tidak sampai lima menit. Sepertinya bukan itu penyebabnya. Aku sedikit lega.

"Ya. Kau mencari-carinya, ada apa? Rindu?"

"Bicara apa kau ini?" Aku memanyunkan bibirku kesal

"Aku tahu, sekarang bukan rindu yang menjadi masalah utama bagimu, tapi kau menghawatirkannya kan?"

"Sebagai seorang teman" tegasku untuk mengakhiri ledekannya

"Tentu. Tidak ada yang bilang kau kekasihnya" ucap Valerie kemudian ia menatapku beberapa detik dan labgsung tertawa.

Aku yang merasa ditertawakan hanya menopang dagu tak bisa menjawab kata-katanya.

"Sudahlah" pintaku pada Valerie untuk menghentikan tawa jahatnya.

"Maaf, maaf. Tapi kalau kau ingin menjenguknya, aku bisa mengantarmu" tawar Valerie.

Aku sebenarnya ingin menerima tawarannya. Tapi kalau aku menerimanya, itu membuatku seperti membenarkan pernyataannya kalau aku rindu atau khawatir pada Defan. Aku tidak mau, karena aku tidak seperti yang ia kira.

"Tidak terimakasih"

"Apa kau serius? Kau tidak akan menjenguknya?"

"Mmhh... aku akan menjenguknya, tapi kau tidak perlu mengantarku repot-repot" aku menatapnya untuk meyakinkan hatinya

"Hei, aku bisa membantumu"

"Kali ini aku menolak, Valerie" ucapku sehalus mungkin. Valerie yang mendengarnya menatapku lamat-lamat dan mengangguk. Tapi aku tidak yakin apa yang ia pikirkan bukan hal yang aneh-aneh.

"Aku tahu kalian butuh privasi"

"What the f*ckk!! Apa yang kau--"

"Hei jaga kata-katamu, itu tidak sopan nanti kau bisa dilaporkan"

Seketika aku ingat aku bukan tinggal di kita yang sama dengan orang tuaku.

***

"Boleh aku membantu?" Tanyaku pada Refan yang sedang menjalani hukuman kerja baktinya sepulang sekolah.

"Apa yang kau mau?" Tanya Refan.

Aku menggeleng tentunya. Aku hanya ingin melihat wajahnya. Kau tahu rasanya ketika sedang jatuh cinta, rasanya aku ingin melihat wajahnya terus menurus, ia memberiku efek fly, benar-benar candu. Sampai-sampai aku tidak memedulikan rasa sakit yang telah ia lakukan padaku.

"Kalau begitu pergilah!" Jawab Refan dengan menatap sinis.

Detik itu juga aku merasaknnya, hatiku seperti ditusuk. Sakit. Tapi aku sudah mulai terbiasa.

"Sebenarnya, aku ingin kau mengantarkanku untuk menjenguk Defan" ide itu muncul begitu saja setelah pisau serasa menghujam. Tapi kurasa itu bukan ide yang buruk.

"Apa?" Tanyanya tidak percaya

"Aku tahu kau teman sekelasnya, jadi sepertinya kau bisa bercerita sedikit tentang kesehariannya di kelas sembari berjalan ke tempatnya" ucapku mengada-ngada. Tapi aku benar soal Refan yang sekelas dengan Defan.

"Menurutmu aku memperhatikan kesehariannya? Buang-buang waktu. Aku tidak mau"

"Kalau begitu aku akan mengikutimu pulang ke rumah"

"Bodoh" jawabnya sambil melanjutkan membersihkan daun-daun gugur di taman sekolah. Aku masih memegang kata-kataku untuk membantunya, namun ketika aku mencoba meraih sapu lidi, mata sinis yang kubenci itu kembali terlihat. Membuatku mengurungkan niat. Lebih baik aku diam saja.

Sembari menunggunya yang seakan sengaja mengetes kesabaranku itu, aku memilih untuk membuka buku pelajaran hari ini. Sesekali aku meliriknya yang berwajah dingin. Tidak apa, karena aku sangat senang. Setelah setahun tak melihat dan terus bertanya-tanya, akhirnya aku kembali melihatnya. Namun ia sudah benar-benar berbeda. Berbeda dari kenangan masa laluku.

"Kau benar-benar menggangguku" ucap Refan lalu menaruh semua peralatan kebersihan ditempat yang seharusnya.

Aku segera memasukkan bukuku ke dalam tas. Lalu mengikutinya berjalan.

"Apa lagi?!" Bentaknya.

"Antarkan aku, kalau tidak aku akan mengikutimu sampai rumah" jawabku dengan menahan kaget.

Ia mentapku jengkel. Kalau sudah begini aku memilih mengalihkan pandanganku dari matanya.

"Cepat!" Ucap Refan sambil menghempaskan napas dengan kasar. Tapi setidaknya ia setuju.

****

Refan dan aku kini sudah berada dipertigaan jalan dengan pohon rimbun yang lumayan menutupi tepi-tepi jalan setelah 10 menit menaiki mini bus yang nyaman. Terutama nyaman karenanya.

Aku menoleh manatap Refan yang sedang memperhatikan sesuatu. Sepertinya ia memperhatikan suara kendaraan yang belum tampak karena tertutup pepohonan.

"Refan?"

"Diam" ucap Refan yang terus memperhatikan suara kendaraan mobil yang terasa semakin mendekat. Dan tiba-tiba...

Brak!!

Refan mendorongku sehingga membuatku tersandung, membuat tubuhku kini berada hampir ditengah bagian jalan. Lalu mobil itu datang, aku buru-buru bangun dan hendak berlari namun tidak sempat. Cahaya dari mobil begitu menyilaukan lalu tiba-tiba semuanya seakan padam.

****

Aku membuka mataku, kuperhatikan sekeliling, cat dengan dominasi putih, tempat tidur kapasitas satu, tirai berwarna biru. Ini rumah sakit.

"Ya Tuhan...." ucapku reflek.

Kupandang sekilas keadaan sekitarku. Mataku terpaku ketika menemukan sebuah surat di dekat bantalku. Aku mulai membacanya perlahan. Ya Tuhan, aku tidak kuat, air mata ini benar-benar tak bisa kubendung. Refan.

Gimna nih tokoh Refan??

Dont forget to vote and comment

TeardropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang