Aku berbohong kepada tenchou bahwa kondisiku sudah baik. Rasa nyeri di perutku masih bisa membuatku ingin berhenti berjalan atau menutup mata, namun aku tidak akan kemana-mana bila harus menunggu sampai rasa nyeri ini hilang. Aku hanya bisa berdoa saja agar jahitan di perutku tidak lepas. Aku ditemani oleh Yomo-san dan Hinami-chan untuk pergi ke rumahku.
Sepanjang perjalanan benar-benar menyenangkan. Aku terus bercerita banyak hal bersama Hianmi-chan. Yomo-san tak banyak bicara, ia lebih sering mengamati sekitar, ia terlihat sangat waspada. Setidaknya atmosfer yang Hinami-chan ciptakan membuatku tidak terlalu mengingat rasa nyeri perutku.
Sesampainya di rumah, mau tidak mau Yomo-san harus mendobrak gerbangnya dengan cara yang baik karen kunci rumah ada di dalam. Mendobrak dengan cara yang baik berarti melepaskan engsel pintu pada saat tidak ada orang yang lewat.
Aku berjalan perlahan-lahan menuju kamarku. Rumah bagian belakang hancur karena serangan Kaneki dan tiga orang Aogiri kemarin. Banyak serpihan kayu dimana-mana dan masih banyak darah bekas noda darahku tercecer di lantai kayu.
Hinami-chan menahan nafas. "Nee-san..." ia memegangi tanganku.
"Tidak apa-apa." Melihat bekas noda darah itu adalah milikku, perutku mulas. Namun aku berusaha tidak memikirkannya dan langsung mencari map. Aku mengambil ranselku dan mencari map tersebut. "Ah, ketemu!" pekikku. Yomo-san dan Hinami-chan langsung mendekat.
Aku membuka map-nya, Hinami-can terperangah. "Itu Nii-san!" aku mengangguk.
"Kau yakin ini yang diinginkan Aogiri?"
"Hanya ini yang bisa kupikirkan." Jawabku pada Yomo-san.
Yomo-san melihat sekitar. "Rumahmu ini terlalu besar untuk dihuni sendirian." Aku tertawa, itu hal sama yang selalu Kaneki katakan padaku. "Aku akan melihat sekitar. Kau harus bawa semua barang pribadimu, untuk sementara kau harus tinggal di Anteiku."
"Apa? Kenapa?"
"Kau masih bisa saja diburu oleh Aogiri."
"Tapi belum tentu kan berkas ini yang diinginkan oleh Aogiri." Kataku.
"Memang belum tentu dan belum tentu juga Aogiri tidak akan kembali." Aku terdiam. Yomo-san hanya menatapku lalu keluar dari kamar.
"Nee-san ayo kita kumpulkan barang-barang." Hinami-chan menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk pasti. Aku memintanya untuk mengambilkanku beberapa baju, sedangkan aku langsung mencari hp-ku.
Terdapat 15 missed call dari Kumi-san dan 2 pesan dari Kumi-san lagi. Tanpa pikir panjang aku langsung balik menelfonnya.
"Akina-chan!" pekik Kumi-san di ujung sana. "Ya ampun, aku khawatir sekali. Kenapa kamu bisa tidak menjawab telfonku, huh?"
"Maaf, aku mematikannya semalam." Aku meringis.
"Kenapa kau tidak datang ke rumah sakit? Tidakkah kau melihat beritanya?"
"Berita apa?"
"Astaga, apa mungkin kau belum tahu?"
"Kumi-san, apa yang tidak kutahu?" tanyaku lagi.
"Ayahmu sudah meninggal, nak."
DEG...
Saat itu juga jantungku serasa ditusuk pisau tajam. Aku merasakan kesendirian luar biasa yang mendadak kurasakan. Sekarang aku benar-benar sendirian. Aku sendirian. Ayah dan ibuku sudah tiada. Aku sendirian. Air mataku pun turun dengan derasnya. Aku menangis begitu keras.
"Akina-chan, Akina-chan," Kumi-san terus memanggil-manggil di telefon. Aku tidak bisa menjawabnya.
Hinami-chan memelukku dari belakang. Aku merasa begitu rapuh dan kecil. Aku benar-benar merasa ditinggalkan oleh kedua orangtuaku. Kalau tidak ada mereka siapa lagi yang akan mengurusku. Siapa lagi yang bisa menemaniku? Kenapa mereka pergi dengan sangat cepat? Tidak, mereka tidak pergi, mereka diambil dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Apple (Kaneki x Reader)
FanfictionKusajishi Akina adalah anak dari Kusajishi Hiro dan Kusajishi Kikuno. Kikuno meninggal karena kanker, maka dari itu Hiro menikah lagi dengan wanita lain. Namun Akina tetap tidak mau mengakui wanita baru itu sebagai ibunya dan menetap di rumah lamany...