Kalau memutuskan untuk jatuh cinta diam-diam, ya harus begini. Siap dengan rasa sakit yang harus kita tanggung.
-
[00]
Mata laki-laki itu terlihat memutar dengan malas. Bola matanya yang berwarna biru terlihat indah dari jauh. Aku hanya diam di sini. Menunggu kejadian selanjutnya lagi. Dan sudah kutebak, pasti Fando, laki-laki tadi, akan menuruti kemauan Inda. Perempuan songong yang hanya memeras kekayaan Fando itu menarik-narik tangan Fando dengan wajah melas yang dibuat-buat.
Sungguh, aku sudah bosan dengan drama yang Inda buat. Terlalu memuakkan. Tapi mau bagaimana lagi, kerjaanku ya hanya begini. Melihat Fando dari kejauhan, memata-matainya seperti detektif terkenal. Terkesan menyeramkan memang.
Benar saja. Sekarang, Fando sudah berdiri dengan sebuah senyum yang dipaksakan. "Okeh, Inda. Ayo kita pulang, dan beli es krim sebanyak yang kamu mau." Samar-samar, suara indah Fando menelusup ke dalam telingaku.
Mereka sudah pergi keluar dari kantin. Sudahlah, aku tidak perlu mengikuti mereka lagi. Pastinya, mereka akan berkencan satu hari. Dan fakta itu, membuatku merasa terpukul dengan keras.
[01]
Kalau menyukai laki-laki dari delapan tahun yang lalu, dengan diam-diam, kalian percaya tidak? Kalau nggak percaya, aku benar-benar melakukan itu. Aku menyukai Fando. Sangat.
Faktanya, Fando itu sama sekali tidak tampan. Mata birunya yang tenang, hanya satu-satunya itu kelebihan dia. Lantas, mengapa aku tergila-gila dengannya? Konyol memang.
Tapi, dia itu sangat berbeda dengan laki-laki lain. Pembawaannya yang selalu tenang, dan tegas, mampu meluluhkanku seketika.
Perasaan itu bermula saat aku duduk di bangku SMP. Mulai berkembang menjadi perempuan yang dewasa, dan merasakan cinta monyet.
[02]
Pagi itu, dengan penampilan khas anak Mos, aku berlari-lari ke sekolah. Tidak telat memang, tapi sifatku yang mempunyai rasa khawatir berlebihan membuatku ingin cepat-cepat sampai ke sekolah.
Saat kakiku sudah menginjak lantai koridor, dan berniat ingin masuk ke kelas, aku menabrak seseorang. Masalahnya, aku anak baru di sekolah ini. Masalahnya lagi, aku paling ngeri berurusan dengan orang yang tidak kukenal. Apalagi---
"Duh... makanan gue." Suara itu membuatku menoleh. Nasi putih yang sudah berhamburan di lantai membuatku meneguk air ludah. "Kalau jalan, liat-liat dulu. Kan sayang nasi putih yang Ibu gue buat. Kalau dia tau nasi yang dia masak jatuh menyentuh lantai, gue yakin dia akan nangis uring-uringan."
Nadanya itu sama sekali tidak ketus. Tapi itu tambah memburuk rasa takutku sekarang. Dan aku mendongak, untuk melihat laki-laki yang aku tabrak. Oh, dear. Aku tertegun, mengerjapkan mata beberapa kali, menatap mata biru yang menenangkan itu.
"Ya sudah deh nggak apa-apa. Ibu gue nggak tau ini juga. Dan gue pasti nggak akan kena marah ini." Aku mengembuskan napas lega, tapi tertahan karena mendengar ucapan laki-laki itu lagi. "Tapi, lo harus traktir gue setiap hari selama seminggu. Gimana?"
Wajahku berbuah menjadi pias. Ya ampun, uang jajanku yang kurang dari cukup itu, harus ya aku rela bagi ke laki-laki ini? "Maaf, Kak. Aku benar-benar nggak sengaja. Pasti deh, aku ganti nasinya."
Laki-laki itu menekuk bibirnya. Mata birunya yang menenangkan menatapku dengan datar. "Nasinya sih nggak apa-apa. Tapi, gue jadi nggak sarapan hari ini. Dan lagi, gue sudah nggak mempunyai nafsu makan. Jadi, kalau lo mau nembus kesalahan, mending jajanin gue aja selama seminggu."
Lagi, aku meneguk air ludah. Sialnya aku hari ini. Mau tidak mau, aku menganggukkan kepala perlahan. Melangkahkan kaki lagi ke arah kelas baruku. Tangan besar milik laki-laki itu mencekal lenganku. Aku menoleh bingung. Apalagi kesalahanku?