1

25 0 0
                                    

"Kok kayaknya pada gapercaya ya kalo lo itu orangnya tulus, Ran," Ucap Laila tiba-tiba saat terjadi hening yang panjang.

Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Berjalan kaki, itu Rania yang minta. Ia sedang ingin berjalan kaki, katanya.

Rania mengangkat kedua bahu, "mungkin emang dari tampang gue, udah ketara kalo gue itu fake?" Responnya tapi pandangannya lurus kedepan.

Laila menggeleng, "engga juga si menurut gue," jeda sebentar, Laila langsung mengingat sesuatu, "EH! Enggak deng, lo itu kan emang fake, Ran." Lanjutnya membuat Rania terkejut sekilas.

Rania menempeleng kepala sahabatnya itu, "anjir! Slow mbak. Emang gue fake apaan sih? Emang lo pernah gue boongin apah?" Rania cemberut.

"Hm, bukan cuman gue doang Ran yang lo boogin, tapi semua. Semua orang yang sayang sama lo. Lo boongin pake senyum palsu lo tiap hari. Gue tau lo itu sebenernya tau kalo gue tau senyum lo itu cuman topeng belaka. Lagian, kenapa lo gak ngejelasin yang sebenernya ajasih? Apa perlu gue ikut sama lo buat ngebantu ngejelasin? Itu kan bukan salah lo, Ran!"

Rania tau kemana arah pembicaraan Laila dari awal. Rania pun menghela napas lelah. Ia mendongak, menatap langit yang mendung. Selalu mendung tapi tak hujan.

"Percuma La. Lo mau ngomong sampe berbusa pun mereka bakalan tetep tutup kuping sama tutup mata! Mereka itu udah buta, udah budeg. Apapun yang lo omongin untuk ngejelasin tetang itu, mereka gapeduli lagi. Hati mereka itu udah mati, La. Dan gue mulai cape untuk ngebujuk mereka buat percaya sama penjelasan gue." Jawabnya lalu menghela napas lelah, lagi.

"Lo jangan pernah lelah buat ngebujuk mereka, Ran. Gue percaya kalo waktunya tiba, mereka bakalan luluh dan percaya sama lo, Ran. Percaya deh." Ucap Laila menyemangati sahabatnya yang mulai lelah dengan keaadaan.

Rania tersenyum miris, "kapan waktu itu tiba? Saat gue udah pergi ninggalin dunia dan menuju akhirat? Bahkan cuman Risma doang yang masih care sama gue. Dia nanya tentang keadaan gue di sekolah gimana, ada yang jahatin gue di sekolah apa nggak.. Dan itu pun Risma langsung di bentak sama Bang Reno, La. Sumpah nyesek banget gue pas liat Risma dibentak sama Bang Reno gara-gara khawatirin gue pas pulang larut malem." Rania sudah hampir mengeluarkan krystal beningnya. Tapi ia tahan. Ia tak mau membuat sahabatnya kelimpungan karena melihatnya menangis.

Laila tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia mengelus pundak Rania, "sst! Ngomong apaan sih lo Ran? --"

"Daah La, gue duluan ya. Bye!" Potongnya langsung berbelok saat di perempatan.

Laila hanya bisa menghela napas.

*****

Rania masuk ke rumah, tanpa salam atau apapun itu. Menurutnya, percuma juga bebicara pada orang-orang yang berada di dalam rumah ini kalau pada akhirnya sama saja seperti kau berbicara dengan tembok.

Rania berjalan dengan gontai ke arah tangga, menuju kamarnya. Melewati ruang keluarga yang sedang ramai karena tawa bahagia, bahagia tanpa Rania, tentunya. Ia berhenti sejenak untuk menguatkan hatinya, setelah siap, ia berjalan melewati ruang sialan itu yang sedang hangat.

Berjalan melewati dengan kepala tertunduk, berharap mereka tak melihatnya atau tak menegur dengan kata yang menyakitkan atau yang lebih parah lagi, Risma yang memanggilnya.

Tapi tepat saat baru setengah jalan ia melewati, Risma langsung memanggilnya.

"Rania.."

'Oh tuhan...'

Dengan cepat ia menoleh ke arah Risma yang sedang melambaikan tangannya.

Redupnya CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang