Pilihanku

2 1 0
                                    


Aku dan Pilihanku

Aku yakin kamarku kini tampak seperti tempat yang baru saja dikunjungi angin ribut. Barang-barang berserakan dimana-mana. Buku-buku, kertas-kertas, pena warna, penggaris, pensil, penghapus, semua berserakan tidak beraturan. Bahkan tempat tidurku pun tidak bisa dikatakan rapi akibat ulahku yang dilanda rasa panik. Semalam aku harus lembur mengerjakan tugas yang seabrek minta ampun, menguras otak agar segera mendapat ide untuk kelas seni arsitektur ruangan dan hebatnya aku baru mendapatkan ide itu pada saat lewat tengah malam. Hah, entah ini keberuntungan atau bukan. Aku berhasil menyelesaikannya dengan cukup baik, namun aku baru bisa merasakan empuknya tempat tidur setelah salat Subuh dan alhasil.. jangan ditanya. Sekarang aku bangun kesiangan.

Dengan terburu-buru aku menyambar handuk dan melesat ke kamar mandi. Persiapan kilat hanya memerlukan waktu sepuluh menit dari mandi hingga siap ke kampus. Kemeja kotak-kotak dominasi warna hijau tua berlengan panjang dan memiliki panjang hingga lutut kupadukan dengan celana jeans hitam, jilbab krem, snakers hitam, dan tidak lupa ransel kesayanganku akan menemaniku hari ini.

Aku menuruni tangga, menemukan keadaan rumah yang sudah sepi. Tentu saja, jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit, Ayah dan Bunda pasti sudah pergi bekerja. Aku berjalan menuju dapur, melihat memo yang ditinggalkan oleh Bunda.

'Sayang, sarapanmu sudah ibu siapkan. Jangan lupa dihabiskan'. Begitulah tulisannya.

Aku menoleh ke meja makan, terdapat tudung saji yang ditutup kain pink gambar bunga-bunga kesukaan Bunda. Kubuka tudung saji itu, sekotak nasi bekal dan segelas jus jeruk kesukaanku sudah siap sedia.

"Ah, Bunda memang top", kataku senang. "Tahu saja, Bun, putrimu yang manis ini telat bangun hari ini."

Aku segera memasukkan bekalku ke dalam ransel dan meminum jus jeruk hanya dalam beberapa tegukan. Jam dinding di ruang keluarga yang terlihat dari meja makan seakan mengingatkanku. Bergegas keluar rumah, mengunci pintu lalu langsung berlari menuju halte bus di depan komplek. Bersyukur aku langsung mendapat bus dan kondisi jalanan hari ini tidak terlalu macet. Mungkin karena jam masuk kantor dan jam masuk sekolah sudah lewat.

Pukul sembilan lewat lima belas menit bus yang kutumpangi tiba di depan kampusku. Setelah menyerahkan uang kepada kenek bus, aku langsung berlari menuju kelasku. Keadaan lorong yang tidak ramai, bahkan hampir sepi, menguntungkanku. Aku berbelok dan menemukan kelasku. Napasku sudah tersendat-sendat, melihat jam tanganku sekilas yang menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit. Kutenangkan diriku sejenak, sebenarnya aku enggan masuk kelas saat ini -dalam keadaan terlambat-, namun mengingat seberapa pentingnya materi yang akan diajarkan membuatku harus menelan bulat-bulat keinginanku. Merasa napasku sudah mulai normal, segera kuketuk pintu kelas dan membukanya setelah mendengar sahutan dari dalam.

"Selamat pagi, Sir. Alex", kataku sambil menunjukkan wajah penyesalan. "Maaf atas keterlambatan saya. Bolehkan saya mengikuti kelas Anda, Sir?"

Kulihat Mr. Alex membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. Menatapku tajam di balik kacamata lonjongnya. "Karena ini pertama kalinya kamu terlambat di kelas saya, saya akan mengijinkan kamu mengikuti kelas saya."

Aku langsung bernapas lega mendengarnya. Kupikir aku akan berakhir di kantin atau di perpustakaan karena dosenku yang satu ini terkenal sangat tegas.

"Tapi ini adalah kesempatan pertama dan kesempatan terakhir kamu, jadi kamu sudah paham, kan, jika kamu terlambat lagi di kelas saya?" tambahnya.

"Iya, Sir."

Aku berjalan sambil melihat kursi-kursi yang masih kosong, nomor dua dari belakang dekat tembok menjadi pilihanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 15, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PilihankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang