5. Gadis yang Diijinkan Tinggal

20.4K 2.7K 216
                                    

Ruang rawat inap itu dicat putih dengan kusen-kusen berwarna biru langit. Seharusnya menjadi perpaduan warna yang cukup menarik. Tapi gorden, sprei dan selimut dengan corak monokrom, justru menjadikan kamar itu terasa monoton. Diperparah lagi seorang pria tak sadarkan diri, lengkap dengan bibir dan kulit tanpa rona darah semakin menambah kejemuan siapa saja yang melihat. Ternyata, ruang-ruang di rumah sakit bukanlah sesuatu yang membuat betah. Dan itulah yang dirasakan Kejora.

Sejak Berlian pulang untuk mandi dan mengambilkan baju ganti untuk Jao, dia berada di sana. Mungkin selalu ada di sana, di dekat suaminya. Jangan berpikir bahwa yang dia lakukan adalah sesuatu yang romantis abis. Justru sebaliknya. Kejora tidak sedang mencuri-curi pandang pada wajah Jao yang terpejam. Dia mengeluarkan Al-Qur'an mungil yang tak pernah absen dari dalam tasnya, membaca dengan tartil sambil sesekali melihat kondisi Jao yang hening.

Pria itu membuka mata pelan-pelan, tepat ketika Kejora mengakhiri tartil Al Quran. Mata Jao langsung menyipit dan kewaspadaan melingkupinya di tengah-tengah rasa pusing yang berdenyut-denyut di batok kepala. Bahkan sangking tidak suka, dia menepis tangan Kejora yang menyentuh punggung tangannya setelah meletakkan benda persegi itu di meja.

"Jora," suaranya memang lirih, namun kesan intimidasi tidak pernah luput.

Kejora mengangguk.

"Apakah menurutmu dengan membaca kitab sucimu itu akan mendatangkan keajaiban tiba-tiba dari langit?" Jao berusaha duduk, dibantu Kejora yang meletakkan bantal sebagai penahan bahunya agar bisa tegak.

"Mau kubuatkan susu?" tawar Kejora, mengambil pilihan masa bodoh untuk pertanyaan Jao kali ini.

"Aku tidak suka seseorang yang mengalihkan pembicaraan saat aku bertanya." Ingatkan Jao, bibirnya mulai terlihat semburat merah muda.

"Aku tidak ingin berdebat denganmu, Jao. Setidaknya, kamu harus sembuh dulu." Gadis itu meyakinkan Jao bahwa dirinya siap meladeni kegilaan-kegilaan Jao nanti.

"Aku sudah cukup membaik." Balas Jao dingin, merasa diremehkan karena tangan kanannya patah.

"Membaik untuk ukuran orang barusan kecelakaan? Dengan salah satu tangan dibidai? Ketimbang membuang energi untuk berdebat, lebih baik kamu buang energimu untuk berdoa. Kupikir, setelah apa yang kamu alami dua hari lalu, cukup membuka logikamu yang tumpul itu menjadi agak runcing. Iya kan?" Kejora mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan nada manis yang menusuk.

"Doa?" Gumam Jao kuat-kuat. "Bahkan sampai hari ini kamu masih percaya bahwa aku akan berdoa."

Kejora mengangguk lagi. ini adalah anggukan kedua setelah Jao siuman. Selain kepolosan dan ketulusan, Jao tidak melihat apa-apa di matanya. Dan itu membuat gusar.

"Jora..., Jora.... Are you kidding me? Biar kuberi sebuah gambaran padamu. Semua orang sudah tahu bagaimana kita. Aku, si agnostik yang mempertanyakan Tuhan dan kamu, si alim yang percaya mentah-mentah tanpa pembuktian ilmiah. Suatu hari kita berkendara bersama lalu kecelakaan. Jika kamu selamat, apakah berarti doa menurut agamamu lebih benar daripada aku yang memilih untuk tidak berdoa? Seandainya kamu tidak selamat, apakah doa yang kamu panjatkan sebelumnya salah? Kalau kamu menganggap kecelakaan sebagai takdir Tuhan, berarti doa tidak mempunyai kekuatan yang berarti buatmu, buat mengganti takdir Tuhan dengan takdir yang lebih baik." Jao menatap tajam, tidak menyisakan ruang untuk Kejora agar bisa bernapas dengan lega.

Pria itu sempat berpikir bahwa Kejora akan menghindari berkonfrontasi dengannya. Sedetik lalu pikiran itu sangat kuat sampai Jao mendengar hembusan panjang dari mulut mungil istrinya.

"Logikamu hanya bekerja pada premis dualitas, Jao. Kamu selalu berpendapat ada kehidupan, ada kematian. Selamat atau celaka. Seolah-olah hidup hanya dilihat dari apa yang bisa kamu lihat, bisa kamu dengar, bisa kamu rasakan, bisa kamu baui, bisa kamu cecap." Dan Kejora bukan lagi gadis pendiam seperti pada malam itu. Dia sudah berubah menjadi singa yang siap mencabik-cabik otak Jao. "Aku akan ganti memberimu gambaran. Misal, gelap dan terang. Menurut John Lock, keduanya merupakan contoh kualitas sekunder, istilah subjektif yang digunakan manusia untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara gelap dan terang hanyalah penilaian subjektif yang terikat antara interaksi sistem saraf dengan fenomena alam." Kejora memberi jeda agar Jao bisa mencerna penjelasannya. "Lantas, dengan premis dualitasmu itu, apakah kamu bisa membuktikan keberadaan kasih sayang atau cinta atau benci? Betapa kamu menyayangi Berlian dan rela melakukan apapun untuknya. In fact, kamu tidak bisa menyentuh 'cinta', melihat 'cinta', membaui 'cinta'. Singkatnya, Jao, sistem indera ataupun saraf kita tidak bisa mendeskripsikan bagaimana bentuk riil dari kasih sayang, cinta dan juga benci."

Jao bungkam, bibirnya terkatup rapat.

"Baiklah, begini saja, angka tiga diperoleh dari angka dua ditambah satu. Angka dua diperoleh dari satu ditambah satu. Apakah kamu bisa menjelaskan asal-usul angka satu? Nol ditambah satu? Bukankah satu belum ditemukan? Nah, kalau logikamu saja tidak mampu menjelaskan darimana angka satu, apakah kamu akan ngotot untuk mengatakan bahwa jika Tuhan tidak mengabulkan doa hambaNya berarti Dia jahat?" Kejora tersenyum melihat mata Jao melembut.

"Bagaimana menurutmu tentang orang yang rajin sekali ibadahnya, namun angkuh, sombong dan selalu merasa dirinya paling suci dan orang yang tidak beribadah namun akhlaknya sangat mulia, rendah hati, santun, lembut dan mencintai sesamanya? Manakah yang lebih baik?" ada kegelisahan yang Kejora lihat di mata Jao. Pertanyaan itu sepertinya sudah menyiksa bertahun-tahun.

"Keduanya baik, Jao. Bisa jadi suatu hari si ahli ibadah yang berakhlak buruk tersebut sadar kemudian bertaubat. Dia pun berubah menjadi pribadi yang baik. Dan yang tidak beribadah namun berperilaku baik, lantaran kebaikan hatinya, Allah menurunkan hidayah sehingga ia menjadi hamba yang baik pula." Terang Kejora sambil membagi senyuman lagi. Setiap kali senyuman itu menabrak indera penglihatannya, perasaan Jao masih seperti kemarin, lagi, dan lagi dan lagi..., dan lagi.

"Kalau begitu siapakah manusia yang tidak baik?" Jao kembali bertanya setelah menyadarkan otaknya agar tidak tenggelam dalam ilusi paling sinting di usia 28 tahun.

Kejora bukan lagi menarik bibir simetris seperti yang diharapkan Jao beberapa detik lalu. Gadis itu malah menitikkan airmata. Kentara sekali ada beban di sana. "Yang tidak baik adalah kita, orang ketiga yang selalu merasa mampu menilai orang lain, namun lalai dalam menilai diri sendiri."

Apakah aku boleh menyentuhmu agar bisa menghapus airmatamu? Batin Jao tersiksa. Nyaris saja tangannya terangkat dan parkir di pipi Kejora kalau dia tidak kuat menahan dorongan itu. Pria itu sampai mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat agar tidak kurang ajar.

"Jo-ra."

"Maaf, aku sangat emosional." Kejora mengelap airmata dengan serabutan menggunakan lengan baju. "Ada apa lagi? Aku akan menjawab pertanyaanmu sebisaku, Jao."

"Kamu kuijinkan tinggal." Bisik Jao, menyembunyikan senyuman.

"Hng?" Alis Kejora naik sebelah, tidak begitu paham apa maksud Jao dengan kata "tinggal".

"Tolong ganti perbanku. Jangan mengajakku berdebat terus. Aku malas melihat muka sengakmu, Jora."

Kejora menyengir. Dalam kondisi normal, dia pasti rela menyumbangkan satu cubitan di lengan Jao. Tapi, pria itu hanya punya satu tangan normal. Dan sebagai orang yang punya kasih sayang, dia memutuskan untuk menertawai saja kekanakan Jao kali ini.

***




Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang