40. Empat Bulan Kemudian

1.9K 144 26
                                    

Sudah empat bulan. Seharusnya Aditya sudah pulang. Seharusnya jadi saat yang menyenangkan. Tapi malah sebaliknya. Keluarga Aditya benar-benar pindah rumah. Aditya tak ada kabar. Kacau!

Sudah sebulan ini wajah Asma menampakkan kesedihan. Khairul menyadari itu. Ia juga takut Aditya memang mengecewakan Asma. Walaupun ia tahu itu malah bagus untuk mendekati Asma. Hahaha...

Mas Budi yang sekarang menjadi supervisor teknisi juga melihat perubahan pada diri Asma. Ia merasa kasihan pada gadis itu.

"Udah Asma. Jangan sedih. Jodoh, maut, rezeki, Allah yang atur," nasihatnya.

"Dengerin kata Mas Budi," ucap Khairul.

"Iya, Mas," sahut Asma sekenanya.

"Hari ini ada manajer baru ya mas?" tanya Khairul pada Mas Budi.

"Iya. Manajer teknisi dan IT," jawab Mas Budi. "Aku belum ketemu orangnya."

"Palingan orang tua," celetuk Khairul. "Tua, jelek, cerewet. Kalo pun muda pasti sok segalanya."

Asma cuma melirik ke arah dua pria itu. Baginya tak penting, siapa pun manajernya, selama Aditya belum ada kabar, ia tak peduli. Asma sibuk sendiri. Tak lama masuklah seorang pria ganteng dan tinggi berkulit putih. Ia memakai kemeja warna biru perusahaan dan celana bahan warna abu-abu. Senyum ia tebar sepanjang jalan. Sosoknya membuat satu departemen menoleh. Mereka mengenali pria itu.

"Bang Adit! Bang Adit!" seru beberapa operator lama.

"Mas Adit! Ya Allah! Eh liat itu"

"Mas Adit! Mas!"

Keriuhan suara para operator perempuan membuat Asma terganggu. Ia berpikir itu cuma halusinasinya saja. Tapi entah kenapa ia merasa merinding. Sesuatu berdiri tepat di belakang tubuhnya. Ia membalikkan badannya. Dilihatnya pria itu. Dunia serasa berhenti berputar saat pria itu tersenyum.

"Halo Asma."

Asma tersenyum canggung. Ia tak percaya sosok Aditya benar-benar berdiri di hadapannya. Mas Budi dan Khairul yang sejak tadi melihat cuma bisa melongo.

"Kok diem? Lupa ya sama aku?" Aditya juga menoleh ke Mas Budi dan Khairul. "Kalian juga. Kenapa sih melongo?"

"Loe, loe manajer barunya?" tanya Mas Budi tak percaya.

"Iya. Hehehe. Gak nyangka kan? Sama. Gue juga."

"Wow! Keren, keren!" puji Khairul yang kehabisan kata-kata.

"Manajernya agak peak," celetuk Mas Budi saat ingat siapa Aditya yang sebenarnya.

Khairul dan Asma menahan tawa. Cuma desis kecil yang keluar. Aditya mulai menunjukkan wajahnya yang cemberut.

"Lha gue mah walau udah jadi manajer tetep aja dibully," keluhnya. Ia menunjukkan wajah terluka. "Gak ada harganya kayak remahan peyek kacang."

"Iya. Nggak dibully deh. Jangan ngambek." Mas Budi menenangkan Aditya.

"Mas Adit kapan pulang?" Tanya Asma.

"Udah sebulan ini. Kaget ya?"

Asma tersenyum. Tapi dia terdiam memandang wajah Aditya yang telah lama tak ia lihat.

"Kok diem? Jual mahal ya? Kalau kamu jual mahal, ya udah deh. Bye. Gue mau bersosialisasi dulu." Aditya kembali berjalan mengelilingi departemen yang lain.

Tiga orang itu masih tak percaya melihat Aditya menjadi manajer. Rasanya seperti mimpi.

"Gayanya tetap petakilan ya?" tanya Mas Budi.

AdityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang