Malam ini sedikit berbeda. Walaupun aktivitas Bram tetap pada kegiatan semula. Pagi tidur beberapa jam. Siang dia menyempatkan diri ke kantor untuk presentasi proyek barunya, dan malam kembali ke apartemen untuk menggarap kelanjutan proyek tersebut sampek pagi. Tapi, ruangan berpetak-petak minimalis dan berantakan ala pria bujang pun kini menjadi setengah rapi.
Bukan salah Bram yang berprofesi sebagai arsitek yang cukup sukses sehingga ia tak sempat menata buku-buku tebalnya yang berserakan maupun sekedar menumpuk baju kotornya di keranjang. Bukan salah Bram untuk sekedar menyewa pembantu kalau Bram sempat dibohongi salah satu dari mereka setelah sempat mencuri benda mahal di kediaman Bram lalu kabur. Dan sekali lagi, bukan salah Bram yang masih single saat usianya mulai beranjak uzur dan jodoh pun masih mampet karena Bram masih keasyikan dengan proyeknya.
Dan jangan salahkan Nyonya Miranda, Mama Bram yang setengah baya namun masih cantik dengan segala keanggunannya, untuk jauh-jauh datang ke apartemen putra semata wayangnya hanya untuk beberes. Tak ayal bibir tipisnya tersebut ngoceh sana-sini, betapa malasnya putranya untuk menata rumah.
"Bram, Bram. Ya gini ini lo, anak cowok klo dibiarin hidup sendiri. Baju kotor ada di ruang tamu. Debu di bawah meja jadi numpuk segunung nggak pernah di sapu. Mana ini, kotak pizza.." Nyonya Miranda membuka kotak tersebut yang langsung mencicit jijik akan aroma busuknya. Ada sekitar dua potong pizza basi tidak termakan dan sepertinya itu sudah sekitar dua hari membatang.
Bram yang keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambut basahnya sehabis mandi dengan handuk hanya meringis. Dia lupa belum membuang pizza itu. Memang, seminggu ini dia sibuk akan pekerjaannya dan benar-benar tidak sempat mengurus apartemennya. Sialnya, yang menemukan justru ibunya yang memuja kebersihan.
"..kamu itu kok ya bisa hidup diantara sampah-sampah ini, Bram?! Bukan kamar apartemenmu lagi yang nimbun sampah. Perutmu juga nimbun makanan sampah! Nggak sehat terus-terusan makan makanan cepat saji, Bram! Ya gini ini klo nggak nikah-nikah. Mana sok jauh-jauhan sama Mama. Nggak ada yang ngurus. Kamu kaya gelandangan aja.."
Seketika wajah pria tampan itu cemberut total. Dia asli baper kalau Mama sudah menyindirnya dengan topik 'Nggak nikah-nikah'. Mamanya itu mendesak Bram terus untuk segera memperkenalkan calonnya. Tapi ya gimana, calonnya siapa? Bram saja masih jomblo.
"Ya udah, Mama aja yang pindah sini urusin Bram" celetuk Bram sok ngambek dan langsung mendapatkan pendelikan si Mama.
"Mama pindah sini, Papamu yang nggak ke urus! Mama ini kewajibannya ngurus suami. Yang wajib ngurus kamu ya istri, Bram. Duh kamu itu katanya summa cumlaude, tapi nggak tokcer nyari cewek"
JLEB!!
Bukan main merah padam wajah Bram. Walaupun Bram cowok, dia juga bisa kesal loh, Ma. Dikira Bram tidak ingin menikah? Bram ingin dan ngebet buat nikah!! Tapi belum dapat yang sesuai. Bram juga iri lihat Dito, Sammy, sudah siap meminang pacar-pacarnya itu. Dia dongkol setiap kali dapat undangan pernikahan dan harus hadir sendiri. Dapat pertanyaan sana-sini, kenapa belum nikah? Mana calonnya? Kok datang sendirian? Bram ingin menceburkan diri di laut jawa.
Bramantyo Putra Adijaya, namanya. Berasal dari keluarga baik-baik. Punya cipratan darah ningrat dari Papanya. Dan memiliki keluarga besar yang menjunjung tinggi nilai adat. Umur 29 tahun. Lelaki tulen nan normal. Single, bukan homo maupun playboy. Tapi pemilih. Jelas! Bram adalah tipe lelaki serius. Walaupun bisa saja Bram menulis daftar wanita yang siap menjadi pasangannya, akan menghabiskan berlembar-lembar kertas binder untuk menulis nama mereka.
Bram itu tampan, gagah, ramah tapi sesekali misterius dan tertutup. Cerdas, jenius malah. Wanita mana yang tidak doyan? Apa penulis sudah menceritakan tentang limit credit cardnya? Jangan deh, nanti baper.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...