13. Skors

4K 340 43
                                    

• Demi Cinta, Mike Mohede🎵

###

ENJOY!

KALAU bukan karena berita dari Dean yang mengatakan kalau Raffa masuk rumah sakit, Adena tentu tak akan mungkin sekhawatir ini. Bayangkan saja, saat jarum jam hampir menunjukkan pukul sepuluh, dan Adena harus dikejutkan dengan berita seperti itu. Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Adena bahkan tak sempat berpikir kalau firasat buruknya dari tadi ternyata tentang Raffa.

Sukur saja Dokter mengatakan kalau luka Raffa tidak begitu parah. Namun, tetap saja, rasa itu .... Rasa akan takut kehilangan sosok Raffa, masih terus saja terbayang di pikirannya hingga saat ini.

"Mukanya jangan serius gitu, kali."

Adena mendengus. Dia menarik kursi yang berada di samping ranjang lalu mengempaskan bokongnya disana. Jujur dia masih kesal dengan Raffa. Apalagi saat tahu kalau dia begini hanya karena balap liar dengan Vano. Bodoh. "Kamu itu sebenernya masih mau hidup ato enggak, sih?" ujar Adena ketus.

"Yah masih lah. Kalo nggak, kamu nanti sama siapa, dong?" balas Raffa, dengan mata yang dikedipkan. Lihat saja laki-laki itu, disaat nyawanya hampir saja melayang, dia masih bisa melempar sedikit lelucon yang secara otomatis membuat Adena ingin sekali menabok kepalanya. "Jadi sekarang, aku-kamu, ya?"

Adena menyentil dahi Raffa, gemas. Setidaknya, melihat Raffa masih bisa bertingkah konyol di depannya seperti ini dapat membuatnya lebih lega ketimbang harus melihat Raffa yang terbaring tak berdaya dengan kedua mata yang tertutup. "Kenapa harus ikut-ikutan sama yang gitu-gituan, sih? Mending tidur di rumah, ato belajar kek, apa kek."

Raffa mengulum bibirnya sambil manggut-manggut mengerti. "Ampun, Nyai," balasnya, masih dengan nada jahil. "Lagian jangan ngomel terus kali. Udah kayak ibu-ibu galak aja."

Ringisan pelan meluncur dari bibir Adena. "Biar kayak ibu-ibu gini, lo tetep suka, kan?"

Raffa lagi-lagi mengulum bibirnya sembari mengedikkan bahu acuh. "Yah, kalo itu sih, nggak usah dikhawatirin lagi. Ibu-ibu galak kayak kamu itu selera aku banget."

"Idih!" seru Adena, sok geli. "Jangan lo pikir gue udah gak marah lagi sama lo, ya, Raffael."

"Yah, masih marah, ya?"

Adena melipat tangannya di depan dada. Kini gilirannya mengedikkan bahu acuh tak acuh. "100 kali kata maaf, gak pake berhenti."

Raffa menghela napas. Meski mengucapkan seratus kata maaf seperti yang diingkan Adena itu sangat melelahkan, namun dia tetap melakukanya. Satu demi satu kata maaf diucapkannya seiring dengan embusan napas mereka yang saling berpadu.

****

Adena benci kelas musik. Gadis itu memang tidak begitu tertarik dengan pelajaran yang satu itu. Bukan karena pelajarannya, sih, tapi karena gurunya yang selalu saja mengadakan praktek dadakan. Seperti saat itu, disaat suara Adena sedang serak, Bu Yuliarta malah menyuruh Adena untuk bernyanyi solo di depan.

"Bu, suara saya lagi gak enak," elak Adena. Jujur saja ia menolak ketimbang harus ditertawai satu kelas karena suaranya.

"Silahkan, Adena." tanpa menggubris keluhan Adena, Bu Yuliarta tetap menyuruh gadis itu bernyanyi, sementara dia sendiri asik bersandar sambil memejamkan mata.

Adena menarik napas dalam-dalam. Dia memang suka menyanyi, tapi tergantung tempatnya dimana. Kalau tipikal cewek seperti Adena, mah, cuma mau nyanyi kalo lagi di kamar mandi. Tapi, beruntung bagi Adena, karena saat ia baru saja ingin memulai bernyanyi, suara bel tanda pergantian jam langsung berbunyi, membuat Adena terselamatkan.

Lost And FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang