Dufan

812 100 22
                                    


Part 14

Sangat sulit melupakan orang yang sudah memberikan begitu banyak hal untuk diingat.

"Ky kita ke dufan ya?" Yuki menggoyang-goyangkan lengan Rizky manja, risih berlama-lama diruangan yang bak dihuni mahkluk fantasi bernama vamvire. Tirai dikamar lelaki itu dibiarkan tertutup tak membiarkan udara berganti atau bahkan sinar matahari masuk. Hanya temaram yang tepat mendeskripsikan dari tempat ini.

Rizky menengok, air mukanya datar. Kamar ini siksaan untuknya, kamar yang menyimpan semua kenangannya bersama Dinda yang hanya bagai mimpi, berkelebatan, tapi tak bisa menjadi kenyataan. Disetiap jengkalnya seolah tercipta proyektor yang menanyangkan wanita itu berlalu lalang dengan perut buncitnya, menebar senyum yang membuatnya... Rindu? Hatinya mencelos, teriris-iris perih. Ditatapnya manic mata Yuki yang besar dan bulat, kelopak matanya dalam tebal. Rizky mengelus dagu gadis itu lembut, tapi perasaannya jelas berbeda. Apa gadis ini hanya menjadi pelarian untuknya?

Yuki menunduk. "Kita udah tiga hari pacaran. Tapi kenapa aku ngerasa kamu masih belum jadi milik aku?" Keluhnya, air matanya menggenang. Bukan itu yang Rizky inginkan dari hubungan ini. Bukan menyakiti gadis ini.

Rizky menaikan dagu Yuki agar dua bola mata gadis itu menatapnya. "Aku milik kamu." Ironis perkataannya itu tak membuat hatinya sendiri tenang, justru seperti belati yang menancap-nancap dalam diulu hatinya. Bibir Rizky melandas menciumi kelopak mata Yuki yang tertutup, tapi air mata justru jatuh bebas dari persembunyiannya. Dan bukan perasaan seperti ini yang Yuki impikan dari status barunya.

Sesak merajami rongga dada Yuki. Sudah tiga hari berlalu setelah kepergian Dinda, tapi kepergian itu seolah memasukan Rizky pada penjara dirumahnya sendiri. Lelaki itu tak mau keluar dari rumah, beralasan kalau dia tak enak badan, tapi batin Yuki berbisik. Bukan karena itu. Rizky masih menunggu Dinda pulang. Meskipun lelaki itu tau kalau dia bukanlah tempat pulang untuk Dinda.

Yuki menghapus air matanya sendiri, tak membiarkan mata Rizky mengepungnya dengan tatapan bertanya lebih lama lagi. "Ayooo, kita ke dufan. Kita butuh liburan." Ajaknya lagi, bukan pilihan buruk untuk mencari suasana baru yang akan meluruhkan stress dipikiran mereka. Rizky mengangguk setuju.

---

Mathias melirik Marcell, sekejap mereka bertukar pandang lalu bercengkrama dalam diam, bola mata mereka tertuju pada gadis berperut buncit yang tampak menganti-ganti channel tvnya beberapa kali dengan wajah ditekuk berlipat-lipat. Cukup, pikir Mathias. Dia menyenggol lengan Marcell pelan memberinya kode untuk bertanya. "De lo kenapa sih?" Akhirnya Marcell berani bertanya.

Dinda berdiri. Memencet tombol power yang membuat layar LCD Tvnya gelap tanpa gambar dan suara. Gadis itu tak sedikitpun menjawab. Dia malah masuk kedalam kamarnya. Perlahan memorinya tentang suaminya muncul. Wajah oriental lelaki itu ditambah tubuhnya yang atletis justru tak membuatnya puas. wajah tampan Billy-suaminya-selalu berhasil muncul bergantian dengan pria lain, seolah hatinya benar-benar telah berbagi tempat yang sama besar. Rizky. Batinnya memanggil.

Tidak. Gadis itu mencoba menyangkal perasaannya sendiri. Dia pindah kerumah ini, pindah lebih dekat dengan keluarganya untuk berlari dari bayang-bayang Rizky yang sudah membohonginya, tapi justru dia masuk kedalam pintu kerinduan, memanggil-manggil nama lelaki itu di sanubarinya.

"Damn. Kenapa aku harus merindukan laki-laki brengsek itu." Dinda mengumpat, mengelus perutnya sendiri yang terasa ditendang jabang bayinya.

Suara pintu kamar Dinda yang diketuk pelan, membuat gadis itu menoleh malas. "De kenapa sih?" Tanya Marcell sekali lagi masih dengan perasaan khawatirnya.

DESTINYWhere stories live. Discover now