8. Hujan yang Mengabu

19.2K 2.7K 356
                                    

"Mereka terlihat sangat serasi," Galih berkomentar sembari memainkan gelas di udara.

Abraham tersenyum miring. "Gadis yang sangat menarik."

Tawa Galih pecah, "Apa lagi sekarang?" dugaannya langsung mengarah pada hasrat yang menyala di mata Abraham. "Apa kamu juga ingin menidurinya seperti Hye Jin?"

Abraham mendesah kecil karena kerongkongannya yang semula terasa kering menjadi lebih sejuk setelah menyesap separuh gelas Martini. "Tak ada aturan yang mengikat hidup kita, Galih. Hye Jin pun tidak merasa dipaksa, bahkan menyukainya. Sangat disayangkan karena Jao tidak pernah memberikan apa yang sudah kuberikan."

"What?" Galih mempertahankan diri agar tidak menyemburkan anggur dari mulutnya.

Abraham tersenyum kecil. Wajahnya mengeras karena sekarang melihat Jao mengelus pipi Kejora. "Mau bertaruh?"

Galih mengikuti pandangannya. "Apartemenku jadi milikmu kalau kamu bisa membawanya ke tempat tidur."

Pria berambut cokelat tua itu tercengang. Setahunya, apartemen milik Galih termasuk apartemen mahal dengan lokasi yang sangat strategis. "Serius?"

"Tapi, jika gagal, kamu harus memberikan sahammu di Unilever. Deal?" Galih mencondongkan gelasnya. Tertawa kecil karena Abraham mengerutkan kening, seperti keberatan pada kesepakatan mereka.

"Deal." Kata Abraham setelah menimang masak-masak. Dia membenturkan gelasnya pada gelas Galih, mengulum senyum sembari memikirkan hal-hal yang akan dilakukan agar bisa mendekati Kejora. Tentang sahabatnya? Jao pasti tidak akan ikut campur. Dalam hidup mereka, tidak ada aturan untuk mengekang sesuatu, asalkan dilakukan tanpa paksaan atau melanggar hak asasi. Lagipula, Kejora hanya butuh dirayu sedikit, diiming-imingi hadiah mewah, akhirnya jatuh cinta kemudian melakukan apa yang dia inginkan.

Semudah itu, pikir Abraham sambil meneguk minumannya kembali.

***

Pria itu datang lagi. Dengan mata merah menyala dan cambuk di tangan. Pandangan anak remaja itu beralih pada langit. Hujan makin deras disertai beberapa kilat pada sudut langit yang lain. Selalu, hujan memang muram dan suram, ditambah kedatangan pria dewasa itu cukup menyulap kaki-kaki Jao gemetaran, bibirnya bahkan sudah menggigil sejak tadi. Entah gigil karena dingin atau takut.

Jao tidak bisa mengelak ketika gagang rotan itu menyambarnya. Awalnya cambukan-cambukan itu hanya menyasar di paha, berpindah di bahu lalu lengan. Dia menahan perih dari luka memar itu ketika terguyur air hujan.

"Ampun, Bi..., ampuuun." Jao terisak-isak, perih menyayat sekujur kulitnya yang memar.

"Ampun katamu? Bahkan Allah tidak akan menerima ibadahmu selama 40 hari! Apa kamu mau menyeret Abi ke neraka? Anak liar! Tidak bisa diatur!"

"Ampun." Jao menggigit bibir bawahnya saat rotan itu kembali menyabetnya. Lagi, dan lagi. Sebanyak apapun menjelaskan bahwa dirinya tidak mabuk-mabukan, bahwa dirinya dikerjai teman-temannya, tidak akan bisa meredakan amarah ayahnya. Bagi sang ayah, Jao hanya anak yang tidak bisa diatur, pembangkang dan ahli neraka.

***

"Abang...." Berlian mengetuk jendela kaca di kamar Jao. "Bang...."

Jao yang meringkuk lemah di atas ranjang segera menghampiri asal suara. Berlian berdiri di luar kamar, membawa seplastik penuh makanan. Cowok itu buru-buru membuka jendela.

"Aku bawain makanan buat Abang." Berlian mengulurkan bungkusan plastik, menahan diri untuk tidak menangis karena melihat wajah kakaknya yang pucat dan beberapa sabetan di lengan. "Cepet, ntar ketahuan Abi."

Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang