Niall Horan; Wish You Were Here

270 18 4
                                    

a/n: this is request fromKinatallyta– sorry if i let you waitin’ so long, i am busy ehehe :D i hope you’ll like it! ^^

*

Suaramu masih terdengar sama ditelingaku.

Sayangnya selalu seperti itu, selelu sama. Bahkan hingga aku dapat menghapal semua perkataanmu.

Wajahmu masih terlihat sempurna dimataku.

Dan hebatnya aku tidak pernah bosan melihat wajahmu yang selalu seperti itu. Aku bahkan hapal semua gerakanmu.

Tawamu masih menggelegar hingga membuatku ingin ikut tertawa bersamamu.

Caramu bilang bahwa kau mencintaiku selalu terekam jelas dimemori otakku. dan aku tidak akan membiarkan memori itu hilang begitu saja. Aku akan selalu menjaganya untukmu, juga untuk diriku.

You know what I wish? I just wish you were here.

Aku meletakan penaku diatas kertas putih yang baru saja kutulis oleh... um, aku tak bahkan tidak tahu apa itu. Puisi? Sepertinya tidak. Ungkapan hati? Sepertinya sedikit cocok.

Mataku teralihkan kelaptop yang berada diatas kasurku. Aku langsung berjalan dan bersila diatas kasurku. Membuka laptopku dan kemudian membuka sebuah video yang ia kirimkan padaku satu tahun yang lalu. Ia, Niall Horan.

Dia.. kekasihku.

Selalu saja aku ingin tertawa saat melihat tingkahnya yang konyol. Juga ingin menangis saat ia mengucapkan bahwa ia mencintaiku, mengucapkan kata-kata indah dan manis yang membuatku meleleh mendengarnya.

Walaupun video ini sudah kutonton berulang-ulang kali. Bahkan, setiap hari aku menonton video ini. Tak pernah ada kata bosan menyelip diotakku. Aku selalu menyukai video ini. Ini akan selalu menjadi video favoritku sepanjang masa.

Suara bel rumah membuatku tersentak kaget, “Tunggu sebentar!” Teriakku dan langsung berlari menuju pintu lalu membukanya.

Terlihat disana pria berambut hitam dan berjambut berdiri didepan pintu sembari memengang sebuket bunga. Aku tersenyum padanya. Dia, Zayn. Zayn Malik.

“Hi, Kina.” Sapanya hangat.

“Hi, Zayn. Ayo masuk!” Zayn hanya menggeleng sembari tersenyum tipis membuatku mengurutkan keningku.

“Kau ingat hari ini..” Zayn menggantungkan ucapannya yang membuatku menepuk keingku.

“Astaga! Bagaimana bisa aku lupa! Tunggu sebentar, Zayn. Aku mau mengambil tasku dulu sebentar. Tidak akan lama, kok. Kau tunggu didalam saja.” Tawarku.

Zayn hanya menggeleng, “Tidak usah, aku tunggu saja disini. Jangan lama-lama, ya!” Aku hanya mengangguk dan lalu berlari menuju kamarku mengambil tas yang biasa kupakai. Tiba-tiba mataku tersapu pada kertas yang tadi kutulis oleh entah-apa-itu-namanya. Aku langsung mengambilnya, melipatnya dan memasukannya kedalam tas.

Dengan segera aku langsung kembali menuju Zayn yang sudah berada diluar. “Ayo.” Zayn memberikan sebuket mawar merah itu padaku dan aku pun menerimanya.

“Terimakasih, Zayn.”

“Itu sudah menjadi tugasku, Kina.”

*

“Kau jahat sekarang tidak pernah menemuiku lagi, ya. Ini sudah satu tahun, lho. Kau ini bagaimana? Aku selalu menunggumu, kau tahu? Kau bilang kau akan melamarku dan kita akan berdiri dialtar mengucapkan janji suci. Namun, apa buktinya?! Kau bahkan tak ada disampingku sekarang!” Gerutuku. Zayn hanya menepuk pundakku, seakan berkata ‘sabar, kina.’.

Gemuruh petir terdengar dengan disertari angin kencang. Awan sudah menghitam sekarang. Aku dapat merasakan angin dingin melalui pori-poriku. Dingin menergap diriku yang tak menggunakan blazer ataupun baju berlengan panjang. Aku hanya memakai kaos berlengan pendek yang Niall berikan padaku setahun yang lalu dan jenas hitam.

Aku mendengus kesal dan dapat merasakan wajahku memanas, “Niall, seharusnya kau ada disini. Memasangkan cincin dijari manisku, dan aku memasangkan cincin dijari manismu. Seharusnya kau ada disini, huh!” rintikan hujan mulai turun dari langit. Namun aku tak mengghiraukannya. Begitu pula Zayn yang ada disampingku. Ia sudah mengerti bagaimana perasaanku sekarang.

Hanya dia yang dapat mengertiku, sekarang ini.

Rintikan hujan itu berubah menjadi hujan yang semakin lama semakin besar, membuatku dan Zayn basah kuyup. Biar saja! Biar Niall melihat ini semua. Dasar, Niall. “You said, if rainy, you will hug me to keep me warm. But, what happen to that?! You do not hug me, Niall! Even, you not here with me now. You’re big liar, Niall Horan.”

Air mata mulai turun dari pelupuk mataku, bercampur dengan tetesan air mata langit. Zayn merangkul bahuku berusaha menenangkanku, “Lebih baik kita pulang, Kina. Aku yakin dia mendengarmu dan sedih melihatmu seperti ini.”

“Jika ia mendengar dan sedih melihatku seperti ini, kenapa ia tidak datang kesini, Zayn! Dia memang jahat!” Teriakku yang sudah seperti orang tak waras ini. Zayn mengusap-usap punggungku. “I wish you were here, Niall. I hope you can hear my heart is screaming your name.”

Bahkan buket mawar yang kugenggam ini sudah terguyur hujan.

“He’s can hear you, Kina. Don’t worry.” Ucap Zayn. Aku mencoba tersenyum, walaupun tipis. Mencoba menetralisir sakit yang menyeruak didadaku, menggerogoti diriku hingga aku menjadi rapuh seperti ini. “Let’s go home. Nanti kau sakit.”

“And I remember all those crazy things you said. You left them running through my head. All those crazy things we did. Didn’t think about it, just went with it. You’re always there, you’re everywhere. But right now I wish you were here, Niall Horan.” Aku menghela nafas berat. Namun, terasa sulit sekali.

“Dulu, kau selalu memberikan sebuket mawar padaku setiap bulannya. Dan aku pun akan melakukan hal yang sama padamu sekarang ini. Aku membawakan sebuket mawar ini untukmu, Niall. Ah ya, aku juga menulis ini untukmu. Semoga kau membacanya, ya.” Aku menyelipkan kertas tadi kedalam sebuket mawar itu. Membiarkan kertas itu ikut basah terguyur air hujan. Dan menyimpannya, “Aku akan mengunjungimu lagi nanti. I miss you so badly, Niall Horan. I love you too much.”

Aku mengecup rumah Niall yang sekarang lama. Aku berdiri dibantu Zayn. Menatap rumah sempit Niall dengan nanar. “I love you, Niall.” Lirihku.

Lalu meninggalkan pusara itu dengan berat.

Rest in Peace

Niall Horan

Nov, 21th 2012

*

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang