Ia adalah gadis yang tengah memutar memorinya dalam sudut pandang orang yang berbeda.
"Adalah sebuah kewajiban untuk menghilangkan ingatan Alice setiap malam."
Hasegawa Sei meringkuk di sudut lorong, menutup kedua telinganya selagi sepasang iris cokelat tua menatap horor ke arah lantai keramik di bawahnya, kepada refleksi sinis yang balas menatapnya, kepada sosok masa lalunya yang memucat hingga hampir putih sempurna.
"Tetapi Kuroki-san bilang kau sudah cukup menderita, jadi ia tidak akan menghilangkan ingatanmu, bukankah itu hal yang bagus?" Hasegawa Aoi berlutut di sisinya, mengelus kepala sang gadis dengan penuh sayang. Tak peduli pikiran Sei tengah berkelana jauh darinya.
Ketika Sei membuka mulutnya, suaranya serak, "Untuk apa?"
Aoi mengeluarkan suara dengung dari tenggorokannya, gesturnya berkata bahwa ia tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Tetapi pemuda itu tetap menjawabnya untuk Sei, "Agar mereka tidak melarikan diri. Akan rumit bila mereka dapat mengingat jalan keluar, kan?"
Jeda.
Sosok masa depan Sei menanyakan hal yang sama dengan sosok masa lalunya.
"Lalu bagaimana denganku? Aku bisa saja melarikan diri sama seperti mereka."
Aoi tersenyum cerah, namun berbeda dengan senyum lebar yang membuat kedua matanya tertutup, sepasang iris sewarna kelabu itu masih terbuka dan menggelap, "Aku akan menyeretmu kembali ke sini, tentu saja. Dengan paksa bila perlu. Aku yakin kau masih dapat hidup tanpa kaki. Ah, tetapi sebaiknya jangan kau coba, oke? Untuk kebaikanmu sendiri."
Rasa merinding menuruni punggung Sei, menetap di perutnya yang mendadak mual. Gadis itu tahu Aoi bukanlah seperti yang terlihat, tetapi ia tak tahu sejauh apa Aoi dapat bertindak.
Bukan, bukan tidak tahu.
Melainkan tidak ingat.
"Ah, Ryou," Sei menoleh ketika mendengar Aoi menyapa sosok yang muncul dari balik lorong. Sei dapat melihat Hisato Ryou menyipit ketika melihat mereka, dan sepertinya pemuda berambut gelap itu tengah berpikir untuk berbalik dan berpura-pura tidak mendengar Aoi, atau kalau perlu berakting tidak kenal Aoi saja sekalian.
Tetapi toh, ia tetap berjalan maju.
"Kau tidak bersama si Rambut Biru?" Aoi bertanya ketika Ryou sudah cukup dekat dengannya—tinggal beberapa langkah saja. Pemuda berambut pirang itu mengubah posisinya agar dapat bersandar di dinding yang dingin. Sebelah tangan masih berada di atas kepala Sei.
Ryou membuat ekspresi yang tampak seperti campuran jijik dan kesal, "Kusuruh dia menguasai dasar berpedang. Selagi ingatannya kosong, sebaiknya aku manfaatkan," decihnya.
Sei tersentak, dan gerakan itu tidak lepas dari sepasang iris sewarna lembayung senja.
Ryou menaikkan sebelah alisnya, spekulasi berkelebatan di dalam matanya yang tajam, tetapi ia tidak berkomentar, "Bila kau bertemu dengan Kucing Sialan itu, katakan kepadanya untuk mengembalikan pulpenku," lalu Ryou berlalu, melambaikan sebelah tangannya dengan ogah-ogahan. Sei mengamati punggungnya yang menghilang sebelum menarik napas dalam.
Sosok Hisato Ryou dalam peran apapun terlihat sangat mengintimidasi.
"Nymph-san."
Nama asing, jadi Sei menoleh lagi.
Tatapannya kemudian bertemu dengan iris heterokromatik yang kontras; merah membara dan biru sempurna. Sei tidak mengenalinya, tetapi Alice mengenali sang dewasa belia sebagai pemilik title Queen of Spade. Sosok yang belum sempat gadis itu ketahui lebih banyak selain fakta bahwa ia adalah aliansi The Duchess—teman baik Kuroki Nanami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?